REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Wakil Ketua MPR dari Partai Golkar, Mahyuddin menyebut orang yang mengatakan dirinya seorang pengkhianat adalah seseorang yang kekanak-kanakan. Tudingan itu datang dari kader parainya yang tengah kisruh.
"Dalam politik itu, tak ada musuh yang abadi. Realistis, semua orang pasti cari selamat," kata dia di Padang, Sumatera Barat, Kamis (26/3).
Dirinya menyatakan, tak akan terlibat dalam kisruh yang terjadi antara kepengurusan hasil Munas Bali dan Ancol. Ia menyayangkan, kepengurusan hasil Munas Bali yang diketuai Aburizal Bakrie (Ical) membawa-bawa kader lain.
"Kader seperti saya yang sedang bersemangat, jangan dibawa oleh ini (kisruh pengesahan kepengurusan Partai Golkar). Ini sudah tidak sehat, realistis sajalah," tuturnya.
Mahyuddin juga mempertanyakan tentang definisi berkhianat yang dialamatkan kepadanya seperti apa. Sebab, dirinya hanya menghormati apa yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
"Saya laksanakan sesuai landasan hukum Indonesia. Mengenai pengesahan Kemenkumham, silahkan ke PTUN. Apa dasar kita dituduh berkhianat, yang ngomong juga tak bisa diklarifikasi," tuturnya.
Sebelumnya, Partai Golkar hasil Munas Bali yang diketuai oleh Aburizal Bakrie akan merotasi anggota fraksinya yang dinilai menyeberang ke kubu Agung Laksono. Anggota Golkar yang saat ini duduk di kursi DPR, baik pimpinan komisi, alat kelengkapan dewan, hingga pimpinan MPR, terancam dicopot.
Menurut Mahyuddin, sesuai dengan UU MD3 dan Tatib MPR, pimpinan MPR hanya dapat digantikan oleh tiga hal. Pertama, jika ia meninggal, kedua mengundurkan diri, ketiga diberhentikan dari keanggotaan DPR.
"Menjadi pimpinan MPR harus melalui sidang paripurna, dipilih oleh anggota dari sekitar 300-an keanggotaan. Kita tak mau terganggu oleh hal itu, (sebab) urusan masyarakat, membangun pesatuan dan kesatuan yang penting," jelasnya.