REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantau Legislastif (Kopel) Indonesia menilai posisi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berada di ujung tandung. Bukan tidak mungkin DPRD DKI Jakarta akan menjatuhkan Ahok dari jabatannya, pada paripurna mendatang.
"Posisi Ahok sekarang benar-benar di ujung tandung. Kalau tidak cermat, beliau bisa diberhentikan di tengah jalan," ujar Direktur Kopel Indonesia Syamsuddin Alimsyah.
Menurutnya sejak awal DPRD DKI Jakarta memang berniat menjatuhkan Ahok dari kursi Gubernur DKI Jakarta, karena dianggap gagal membangun komunikasi dengan DPRD.
Syamsuddin Alimsyah menjelaskan merujuk pada UU 32 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan tata tertib DPRD DKI Jakarta, hasil kerja panitia angket tersebut akan dibawa ke sidang parupurna DPRD yang dijadwalkan pekan depan.
Bila dalam paripurna tersebut mayoritas DPRD menyetujui terbukti melanggar UU sebagaimana disimpulkan dari hasil kerja Pansus Hak Angket maka umur kepempinan Ahok bisa tamat.
"Satu-satunya harapan terakhir Ahok adalah hasil keputusan dari Mahkamah Agung atas hasil pemeriksaan, mengadili keputusan DPRD tersebut apakah benar melanggar seperti yang dituduhkan atau tidak. Tapi itu kecil sekali kemungkinannya karena secara politik di DPRD sudah tidak ada lagi dukungan," jelasnya.
Ia melanjutkan, sidang paripurna persetujuan bersama tentang APBD DKI Jakarta tahun 2015 sebenarnya telah dilakukan oleh DPRD pada tanggal 27 Januari 2015 yang lalu.
Bahkan Ahok selaku Gubernur hadir langsung dalam sidang tersebut sekaligus menyampaikan pidato persetujuannya untuk ditetapkan menjadi Perda. Namun belakangan menjadi ribut karena tiba-tiba Ahok menemukan ada beberapa proyek "siluman" yang jumlahnya cukup fantastis sampai Rp12 Triliun lebih.
Ahok bukannya menyampaikan keberatan kepada DPRD atas temuannya tersebut malah membawanya langsung kepada KPK untuk diselidiki.
"Ahok sepertinya lupa kalau APBD itu produk bersama. Kalau ada siluman, berarti hasil perselingkuhan yang terbangun rapi," katanya.
Bukan hanya melaporkan ke KPK, Ahok malah dituding secara sepihak membawa dokumen RAPBD kepada Kemendagri untuk dievaluasi. Celakangan dokumen tersebut ditengarai bukan hasil paripurna DPRD sehingga oleh DPRD dituding telah terjadi pemalsuan dokumen.
"Ini merupakan celah saja yang ditemukan DPRD. Dan bila memang benar adanya, maka akibatnya cukup fatal karena melanggar UU 17 tahun 2003 tentang keuangan Negera dengan tegas menyebut dokumen APBD itu adalah produk bersama dua institusi," jelasnya.
Ia menambahkan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa RAPBD yang disetujui dalam paripurnalah yang diajukan kepada Kemendagri untuk dievaluasi.
Meski demikian, Syamsuddin juga menilai ada beberapa kejanggalan dalam proses pengajuan hak angket tersebut dan penting diklarifikasi kepada publik. Pertama, keputusan panitia angket yang sejak awal proses hak angket tidak menghadirkan Ahok memberi keterangan dalam persidangan sebagaimana yang diharuskan.
"Malah yang dihadirkan justru keluarga dan istrinya. Pada hal hak interplasi akan berkonsekwensi kepada pribadi pejabat publiknya bukan kepada orang lain," katanya.
Kedua, penyampaian hasil kerja panitia hak angket kepada pimpinan yang dilakukan secara tertutup yang semestinya dilakukan secara terbuka karena yang dibahas adalah produk kebijakan publik dan yang tertuduh adalah pejabat publik.
"Ini semua saya kira harus diklarifikasi kepada publik, ada apa Ahok tidak dihadirkan dalam rapat hak angket untuk memberi keterangan. Bila tidak ada klarifikasi terbuka, maka publik akan berpersepsi negatif hak angket dilakukan karena desain awal yang memang untuk menjatuhkan Ahok," tandasnya.