REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Sebanyak tiga negara di Afrika Barat yang paling banyak menanggung korban virus ebola, merilis angka sebesar 8 miliar dolar AS atau Rp 102 triliun. Dana ini diperlukan untuk proyek rehabilitasi dan rekonstruksi sistem kesehatan, membangun lagi ketahanan pangan, dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi warganya.
Rencana pemulihan berjuluk "Marshall Plan", sama dengan rencana pemulihan Eropa selepas Perang Dunia II, ini diajukan oleh pemimpin dari Guinea, Sierra Leone, dan Liberia. Ketiga negara ini menyebutkan bahwa mereka harus mendapatkan separuh dari total kebutuhan dana sebelum dua tahun ke depan.
Selama dua tahun ke depan, proyek penting yang harus diselesaikan adalah "pembersihan" virus ebola yang masih tersisa dan juga memulihakn ekonomi negara yang sempat goyah karena 10 ribu jiwa yang melayang akibat virus mematikan ini.
"Ebola itu seperti perang bagi kami. Itulah mengapa kami membutuhkan Anda untuk memulihkan semua ini," ujar Presiden Guinea Alpha Conde seperti dikutip Thomson Reuters, Ahad (19/4).
Bank Pembangunan mengestimasi kerugian yang dialami oleh ketiga negara ini mencapai 2,2 miliar dolar AS dalam satu tahun saja. Angka ini naik dari estimasi tiga bulan lalu sebesar 1,6 miliar dolar AS. Kerugian yang dialami lebih sebagi akibat dari anjloknya harga komoditas dari ketiga negara tersebut di pasar dunia, serta lumpuhnya aktivitas pertambangan di Sierra Leone.
Untuk mempercepat pemulihan, Bank DUnia dan sejumla donor telah berkomitmen untuk mengucurkan donor 1,06 miliar dolar AS dan juga dana dari penggalangan dana tahun lalu sebesar 5,68 miliar dolar AS. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon sendiri menetapkan tanggal 15 Juli mendatang untuk lakukan pembahasan tentang pendanaan pemulihan ebola.
"Kita harus tetap berada di sisi tiga negara ini, meski krisis telah surut," ujar Ban.
Meski epidemi ebola telah berkurang, petugas kesehatan masih memiliki tantangan untuk memberangus sisa virus mematikan ini di pelosok daerah.