REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dikabarkan akan menerbitkan peraturan presiden (Prespres) turunan dari UU No 30/2014 tentang Administrasi Negara. Perpres ini utamanya untuk melindungi pejabat negara dari upaya kriminalisasi terkait diskresi yang dilakukannya.
"Perpres antikriminalisasi itu sebenarnya menunjukkan kegagalan pemerintah membangun tata urutan peraturan perundang-undangan yang baik. Yang kedua, dia kegagalan membangun prinsip-prinsip menegakkan good corporate governance. Yang ketiga, justru menunjukkan rendahnya akuntabilitas publik," jelas pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy saat dihubungi Republika, Rabu (8/7).
Ia menilai, rencana Perpres antikriminalisasi itu lalai setidaknya dalam tiga hal pokok. Poin pertama, bobot muatan Perpres antikriminalisasi justru melampaui undang-undang di atasnya, yakni UU No 30/2014.
Sebab, undang-undang tersebut tidak mendelegasikan terkait ihwal antikriminalisasi pejabat. Karena itu, tegas Noorsy, pihak legislatif sebenarnya berhak memintakan pembatalan Perpres tersebut demi hukum.
"Jadi, satu delik pidana yang sudah diatur undang-undang tidak bisa dihilangkan oleh satu peraturan di bawah undang-undang. Baik oleh perpres maupun PP," katanya.
Poin kedua, Noorsy melanjutkan Perpres antikriminalisasi justru bermaksud membangun kekebalan atas asas kesamaan di depan hukum. Padahal, tegas Noorsy, maksud demikian hanya diperkenankan bila dalam rangka menyelamatkan konstitusi. Atau, bilamana negara dalam keadaan bahaya.
"Jadi ada persyaratan-persyaratannya. Bukan segampang itu melihatnya," ujarnya.
Poin ketiga, jelas Noorsy, pada hakikatnya diskresi bermakna azas keleluasaan seorang pejabat sebagai pengambil kebijakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud keleluasaan, yakni pejabat itu boleh saja mengambil tindakan yang belum ada aturannya. Namun, lanjut Noorsy, keleluasaan itu mesti memenuhi empat syarat.
Syarat pertama, taat azas. Kedua, tindakan pejabat itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kebiasaan yang berlaku. Ketiga, tindakan itu tidak bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Adapun syarat keempat, tindakannya tidak menguntungkan atau mengedepankan kepentingan pribadi, baik langsung maupun tak langsung.
Dari keempat syarat itu, Noorsy menekankan syarat ketiga. Yang mana, sudah gagal dipenuhi oleh Perpres antikriminalisasi. Noorsy juga berpendapat, audit internal pemerintah masih berjalan kurang efektif dalam mencegah kongkalikong anggaran. Maka tidak heran, sulit membedakan pejabat yang teledor administratif daripada pejabat yang memang berniat korup.
"Audit internal yang dilakukan BPKP terkadang dipenuhi oleh kepentingan subjektif para pemimpin pemerintahan. Sehingga, efektivitasnya rendah dalam rangka menihilkan atau mengurangi potensi korupsi," jelasnya.