REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan rencana penerbitan peraturan presiden (Perpres) terkait antikriminalisasi pejabat, dimaksudkan untuk kebaikan negara.
"Ini pronegara, supaya negara jalan," katanya di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa (7/7).
JK melanjutkan rencana perpres atau inpres tersebut dimaksudkan agar pejabat di daerah dapat mempercepat pelaksanaan anggaran di daerah.
Namun, seperti diketahui rencana tersebut mendapat protes dari Komisi Pemberantasan Korupsi karena dinilai mengganggu upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Terkait akan hal itu, Wapres mengatakan jika rencana perpres atau inpres antikriminalisasi pejabat daerah tersebut terwujud, maka KPK harus mematuhinya.
"Kalau pemerintah membuat itu, tidak ada boleh menolak. Bagaimana caranya? Apa urusannya KPK bisa menolak keppres yang dikeluarkan Pemerintah?" ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan Pemerintah akan menerbitkan perpres atau inpres terkait antikriminalisasi terhadap pejabat daerah dalam menjalankan anggaran.
Hal itu dimaksudkan agar penyerapan anggaran di daerah dapat berjalan dengan baik karena selama ini Sofyan mendapati banyak pejabat daerah ketakutan dalam menjalankan anggaran setempat.
"Selama ini kita dengar, pejabat ada yang ketakutan padahal baru memulai tender. Oleh sebab itu nanti kita terbitkan perpres dan inpres yang tujuannya bukan hanya mempercepat pembangunan infrastruktur tapi juga proyek pemerintah," kata Sofyan Djalil.
Sofyan menambahkan perpres antikriminalisasi pejabat terkait percepatan pembangunan proyek infrastruktur, akan bersinergi dengan perpres yang memberikan kewenangan kepada menteri untuk mempermudah perizinan.
"Sekarang perpres dan inpres itu meminta, kalau perizinan bisa digabung maka digabung saja. Misal izin amdal dengan izin lokasi, karena akan mempermudah, lagi pula kendalanya saat ini masih di birokrasi, regulasi dan perizinan," ujarnya.
Kementerian Dalam Negeri mencatat penyerapan anggaran di daerah di semester pertama baru mencapai 25,92 persen. Angka tersebut dinilai masih terlalu kecil dalam pelaksanaan anggaran belanja di daerah.