Ahad 23 Aug 2015 07:15 WIB
Penggusuran Kampung Pulo

Relokasi Warga Kampung Pulo Dianggap tak Manusiawi

Rep: c34/ Red: Bilal Ramadhan
Warga menangis histeris melihat rumah tinggalnya dirobohkan oleh alat berat di permukiman padat di bantaran sungai Ciliwung di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta, Jumat (21/8).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Warga menangis histeris melihat rumah tinggalnya dirobohkan oleh alat berat di permukiman padat di bantaran sungai Ciliwung di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta, Jumat (21/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- LSM Ciliwung Merdeka dan Mitra masih menyayangkan perkara relokasi Kampung Pulo yang dianggap tak manusiawi. Hari ini, Sabtu (22/8), relokasi 533 bangunan rumah di tiga rukun warga Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur itu masih berlanjut.

Ciliwung Merdeka (CM) dan mitra, komunitas warga Kampung Pulo, mengaku sama sekali tidak menolak program normalisasi Sungai Ciliwung, bahkan mendukung. Akan tetapi, Direktur CM Sandyawan Sumardi, menyayangkan Pemprov DKI yang menganggap warga sebagai penduduk liar atau warga ilegal.

"Karena warga dianggap tidak punya surat-surat tanah sama sekali sehingga tidak ada ganti rugi apapun," kata Sandyawan.

Padahal, Sandyawan menginformasikan, terdapat ratusan bukti kepemilikan yang dimiliki warga. Fotokopi surat-surat tanah, PBB, rekening listrik, KTP, dan KK yang sah berhasil dikumpulkan tim hukum, tim pendampingan dan pengorganisasian CM.

"Sudah dikirimkan ke Pemprov DKI, Menteri Sosial RI, serta Menteri Agraria dan Tata-Ruang RI," ucapnya.

Sandyawan menegaskan, banyak warga memegang hak kepemilikan adat seperti girik, petuk pajak bumi, jual beli di bawah tangan, dan verponding Indonesia. Ia tak habis pikir warga dianggap menduduki tanah negara.

Sehari sebelumnya, Jumat (21/8), pemerintah, kepolisian, dan Satpol PP menyatakan tidak akan menyentuh bangunan ibadah dan sejumlah makam kuno yang ada di sana. Situs religi di Kampung Pulo antara lain makam Kyai Lukmanul Hakim, makam Habib said, dan makam Kyai Kashim.

Terdapat pula rumah berlanggam Betawi yang berusia seabad dan musholla Al Awwabin yang sangat tua. "Kalau takut menggusur makam tapi semena-mena menggusur orang hidup itu tidak bisa dibenarkan," ujar Sandyawan.

Relokasi hari pertama, Kamis (20/8), sempat berujung bentrok serius antara warga dan aparat. Namun, penggusuran hari kedua dan ketiga terbilang aman dan kondusif.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement