REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economic dan Finance (Indef) menyatakan, capaian kinerja ekonomi pemerintahan Jokowi sampai semester I menunjukan perkembangan yang memburuk. Direktur Indef Enny Sri Hartati mengatakan, hal ini kontradiktif dari visi Nawacita yang digencarkan pemerintah.
"Ekspektasi publik terhadap program Nawacita Jokowi-JK sangat tinggi," ujarnya dalam Konferensi Pers di Kantor INDEF Jalan Batu Merah No 45 Pejaten Timur, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (24/8).
Enny melanjutkan, pertumbuhan ekonomi triwulan II 2015 kembali melambat dan membawa sejumlah konsekuensi bagi target kesejahteraan sosial-ekonomi.
Ia menambahkan, penurunan upah riil buruh tani, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan, jurang ketimpangan yang cenderung melebar, hingga tergerusnya berbagai indikator fundamental perekonomian, membuat pembangunan ekonomi semakin rentan terhadap gejolak perekonomian global seperti transaksi berjalan defisit, utang luar negeri meningkat, dan depresiasi rupiah.
Sementara itu, Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nawir Messi menyoroti lambatnya laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan perkembangan indikator sosial dan ekonomi masyarakat yang biasanya teratur.
Padahal, data tersebut dapat digunakan sebagai evaluasi kinerja pemerintah, yang biasanya disampaikan dalam pidato kenegaraan dan penyampaian nota keuangan.
"Namun, anehnya Presiden Jokowi juga seolah kelupaan menyampaikan capaian indikator kesejahteraan seperti tingkat kemiskinan dan pengangguran," kata Nawir.
Ia menambahkan, informasi dan data indikator kesejahteraan tentu sangat penting bagi pemerintah dalam merencanakan, mengevaluasi, dan menentukan progran-program guna mencapai target dan sasaran pemabngunan.
Selain itu, indikator kesejahteraan, lanjutnya juga dapat menjadi tujuan utama dari keberhasilan pembangunan.
Informasi dan data tentang kemiskinan dan pengangguran, ia tegaskan, sangat penting untuk diketahui masyarakat dan para pengambil kebijakan untuk menilai keberhasilan dari pembangunan itu sendiri dan juga sebagai perencanaan pembangunan ke depan.
"Berdasarkan hal tersebut, menunda dan menyembunyikan merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan," lanjutnya.
BPS yang merupakan lembaga independen, kata dia, seharusnya menjadikan kepentingan publik debagai satu-satunya rujukan dan pertimbangan dalam menyampaikan informasi dan data yang perlu diketahui masyarakat.
Belum diumumkannya data kemiskinan dan pengangguran oleh BPS dan tidak disinggungnya persoalan ini oleh presiden dalam pidatinya, Indef menduga hal ini disebabkan oleh kenyataan dalan setahun terakhir telah terjadi peningkatan tingkat pengangguran dan kemiskinan secara signifikan.
"Indef menuntut BPS untuk bersikap independen dan obyektif, serta segera menyampaikan informasi tersebut kepada publik," tegasnya.