REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Devaluasi mata uang Cina dan melambatnya pertumbuhan ekonomi telah mengacaukan sektor finansial di berbagai belahan dunia. Namun huru-hara ekonomi tersebut nampaknya tidak berpengaruh pada kondisi keuangan para pelancong asal Negeri Tirai Bambu.
Memburuknya perekonomian tidak, atau setidaknya belum, dirasakan oleh Henry Lee. Lee yang merupakan warga negara Cina saat ini tengah berlibur ke Singapura. "Saya bahkan tidak tahu berapa nilai tukar mata uang sekarang," ungkapnya Asione.com, Ahad (30/8).
Pria 36 tahun yang sehari-hari berprofesi sebagai pengusaha di bidang teknologi tersebut pergi ke Singapura untuk berlibur bersama istri dan kedua anaknya. "Kami hanya ingin bersantai dan tidak menghamburkan uang, saya membeli tas Tumi sedangkan istri saya membeli gelang Tiffany," katanya sembari menghabiskan waktu di Merlion Park. Lokasi tersebut berdekatan dengan kasino Marina Bay Sands yang menjadi destinasi favorit para turis Cina.
Lee adalah satu di antara jutaan wisatawan Cina yang berangkat dari kelas menengah. Setiap tahunnya mereka pergi ke luar negeri untuk berlibur. Menurut data Centre for Asia-Pacific Aviation (CAPA), sepanjang 2014 sebanyak 117 juta warga negara Cina bepergian ke luar negeri. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibanding 2010 yang hanya mencatatkan 57 juta pelancong Cina. Pada Kamis (27/8) CAPA mengeluarkan pernyataan bahwa industri pariwisata yang mengandalkan pelancong asal Cina memiliki prospek bagus dalam jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang CAPA berani memproyeksikan prospek segmen ini akan semakin bersinar.
Devaluasi yuan terhadap dolar AS pada 11 Agustus silam merupakan yang terendah dalam empat tahun terakhir. Kondisi ini memunculkan prediksi bahwa masyarakat Cina akan mengerem alokasi dana liburan dan memilih tinggal di rumah. Namun hingga hari ini anggapan itu belum terbukti.
Jaringan bisnis pariwisata yang terbentuk dengan mengandalkan konsumen para turis asal Cina telah menggurita di berbagai belahan Asia. Chief Executive Cathay Pacific, Ivan Chu, berusaha meyakinkan para investor bahwa industri pariwisata akan tetap aman meski mata uang Cina sedang goyah.
Kantor berita Xinhua melaporkan pengeluaran para wisatawan asal Cina mencapai 164,8 miliar dolar AS sepanjang 2014. Angka ini empat kali lipat lebih besar jika dibandingkan data pada 2008. Mengutip data China Tourism Academy, sebesar 88 persen uang yang keluar dari kantung para turis Cina dihabiskan untuk berbelanja.
Pada semester pertama 2015 Jepang berhasil menarik 550 ribu wisatawan Cina atau dua kali lebih banyak ketimbang periode yang sama tahun lalu. Data dari Japan Tourism Marketing menunjukkan para turis Cina yang berlibur ke Negeri Sakura rata-rata menghabiskan uang hingga 1.100 dolar AS.
Regional Head of Consumer and Gaming Research dari grup investasi CSLA, Aaron Fischer, memprediksi depresiasi yuan tidak akan menggerus keinginan warga Cina untuk berwisata. "Mereka tetap berlibur namun lebih berhati-hati membelanjakan uang terutama untuk hal-hal yang sifatnya mewah," kata Fischer.
Meski demikian kecemasan masih membayangi para pengusaha agen wisata di Indonesia. "Turis Cina bisa jadi akan berfikir dua kali untuk berbelanja atau memilih mempercepat kunjungannya," jelas Ketua Asosasi Agen Wisata Indonesia Asnawi Bahar. Kekhawatiran serupa juga dirasakan para pelaku industri pariwisata di hampir semua negara di wilayah Asia Pasifik mulai dari Filipina hingga Korea Selatan.
CAPA menyatakan negara-negara tersebut masih tertolong dengan adanya fakta bahwa mata uang negara masing-masing kini sedang terjun bebas. Yuan masih terbilang kuat menghadapi mata uang dari negara destinasi favorit seperti Jepang, Korsel, Australia, dan Eropa.
"Menurut saya secara umum sektor pariwisata di Australia yang mengandalkan kehadiran turis Jepang masih akan terus tumbuh," ujar kepala ekonom dari broker saham Australia, Commsec.
Wilayah lain, mulai dari Eropa hingga negara-negara Asia Pasifik, telah melonggarkan aturan visa bagi para wisatawan Cina. Upaya ini ditempuh sebagai strategi untuk menggaet para turis Cina. Kini semakin banyak negara yang memberikan pelayanan 'lebih bersahabat' kepada pelancong Cina. Pemegang paspor Cina saat ini dapat menikmati akses bebas visa di 74 negara. Jumlah ini tentu merupakan percepatan yang luar biasa mengingat dua tahun silam layanan bebas visa baru menjangkau 18 negara.
Servis ekstra kepada wisatawan Cina tak hanya masalah administrasi. Bandara Australia dilaporkan telah memasang papan keterangan dalam bahasa Mandarin. Selain itu pihak bandara menyiapkan petugas yang fasih berbicara Mandarin. CAPA menyebut layanan itu juga merambah segala sektor. Pertokoan, hotel-hotel, dan agen wisata berlomba-lomba memanjakan pelancong asal negeri panda.
Fischer mengungkapkan di negara emerging market seperti Cina, keinginan warga untuk traveling dan berlibur tidak akan pernah padam. "Dengan ongkos wisata yang senantiasa berfluktuasi, pelayanan prima menjadi kunci utama untuk menarik turis," kata Fischer.