REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Nelson Simanjuntak menyoroti persoalan kemerosotan moral dalam Pemilu. Salah satu bentuk kemerosotan moral tersebut, yakni semakin permisifnya masyarakat dalam hal pembelian suara.
Menurut Nelson, permisifnya masyarakat tersebut berawal dari pemberian uang makan oleh mereka yang ikut kampanye dan dianggap sebagai hal yang wajar. "Kemudian berkembang jadi serangan fajar. Awalnya, masyarakat malu-malu, tapi sekarang sudah tidak lagi, ini permisif ," kata Nelson di Jakarta, Minggu (27/9).
Nelson mengatakan, sanksi hukum sebenarnya sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, menurutnya, penegakan hukum selama ini masih belum cukup kuat untuk menindak peserta Pemilu yang melakukan jual beli suara.
"Sanksi pidana sudah dikeluarkan dari UU, jadi Bawaslu tidak bisa tindaklanjuti. Tapi kami mencoba mendorong kepolisian menggunakan pasal 149 KUHP, itu pidana terhadap pemilih yang memberi uang dan orang yang nerima," ujarnya.
Meski begitu, ia meminta penegak hukum, dalam hal ini kepolisian untuk tidak menggunakan hukum hanya sebagai tindakan represif. Hal tersebut, lanjutnya, dikarenakan akan banyak masyarakat yang tidak mengerti juga akan terkena sanksi pidana.
"Jangan polisi gunakan itu seperti nunggu di tikungan, akan banyak orang-orang tua yang ikut terkena. Meski politik uang dalam proses demokrasi itu merusak," kata Nelson.
Nelson menyebutkan, menurut data Kementerian Dalam Negeri, sejak Pilkada tahun 2005, ada sekitar 350 kepala daerah yang berurusan dengan hukum karena diduga korupsi. Melihat fenomena ini, berbagai lapisan masyarakat harus didorong untuk ikut serta berpartisipasi mewujudkan pelaksanaan Pemilu yang lebih bermoral dan tidak membebani pasangan calon.
"Yang lebih kuat itu norma agama tapi memang ada perbedaan pandangan sehingga perlu hukum positif atau UU," ujarnya.