REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK menolak Rancangan UU 30/2002 tentang KPK yang diajukan oleh DPR untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.
"KPK menolak usulan-usulan untuk dilakukannya revisi UU KPK," kata Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu (7/10).
Ada enam alasan yang dikemukakan untuk menolak revisi tersebut. Pertama, tidak perlu dilakukan pembatasan masa kerja KPK. Dalam RUU KPK disebutkan adanya pembatasan masa kerja KPK yaitu paling lama 12 tahun. Tetapi dalam pasal 2 angka 2 TAP MPR No VIII/2001 MPR RI yang mengamanatkan pembentukkan KPK tidak disebutkan adanya pembatasan waktu.
Tap MPR VIII/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pasal 2 ayat 2 berbunyi "Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya".
Kedua, tidak perlu dihapuskan kewenangan penuntutan karena proses penuntutan yang dilakukan KPK merupakan bagian tidak terpisahkan penanganan perkara terintigrasi.
"Selama 12 tahun ini KPK membuktikan ada kerja sama yang baik penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang dibuktikan dengan dikabulkannya tuntutan oleh majelis hakim pengadilan Tipikor atau 100 percent convictional rate," tambah Ruki.
Ketiga, KPK juga menolak pembatasan penanganan perkara oleh KPK harus di atas Rp50 miliar sebagaimana tertera dalam RUU KPK pasal 13 huruf b.
"Adalah tidak mendasar karena KPK fokus kepada subjek hukum, bukan kepada kerugian negara yaitu subjek hukum penyelenggara negara TAP MPR XI tahun 1998 dan UU No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme," ungkap Ruki.
Keempat KPK sudah memperkuat akuntabilitas kewenangan penyadapan sehingga tidak ada alasan untuk membatasi kewenangan tersebut sebagaimana RUU KPK pasal 14.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, MK menyatakan bahwa kewenangan penyadapan KPK tidak melanggar konstitusi sehingga perlu dipertahankan.
"Selama ini kewenangan penyadapan sangat mendukung keberhasilan KPK pemberantasan korupsi kalau dicabut akan melemahkan upaya-upaya KPK pemberantasan korupsi, kedua penyadapan legal by regulated bukan court order, bukan izin pengadilan," tegas Ruki.
Kelima, KPK juga menolak adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di KPK. menurutnya, KPK tetap tidak memiliki SP3 kecuali limitaitif yang menyebutkan, pertama tersangka atau terdakwa meninggal dunia, karena kalau meninggal mau tidak mau penydikan dihentikan dan kedua tersangka tidak layak diperiksa di pengadilan atau dalam bahasa hukum unfit to stand trial
Keenam, mengenai penolakan KPK tidak bisa mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.
"KPK harus diberikan kewenangan rekrutmen pegawai mandiri termasuk mengangkat penyelidik, penyidik, penuntut umum, yang diangkat langsung pimpinan KPK berdasarkan kompentensi, bukan status sebagai polisi atau jaksa tapi kompetensi yang dimilikinya," ungkap Ruki.