REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK menolak pasal yang menyatakan bahwa penyadapat KPK hanya boleh dilakukan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Sebagaimana tercantum dalam konsep revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diusulkan DPR.
"Misalnya pasal 14 soal penyadapan harus seizin pengadilan, lembaga KPK adalah lembaga khusus yang secara historis sebagai lembaga 'trigger' di manapun di seluruh dunia pasti punya kewenangan khusus dan (kewenangan) itu adalah karakter lembaga khusus, jadi basis penyadapan adalah 'legal by regulated'," kata pelaksana wakil (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu (7/10).
Konferensi pers itu dilakukan menyusul pengajuan revisi UU KPK oleh 6 fraksi DPR yaitu fraksi PDI-Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Golkar, PPP, Partai Hanura dan PKB ke Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Selasa (6/10).
"Yang harus diperhatikan adalah evaluasi dan audit proses penyadapan, bukan izin secara umum yang dinamakan 'legal by court order', jadi basisnya lain. Kalau dalam revisi UU versi DPR jelas-jelas bertentangan sekali dengan lembaga kekhususan KPK, artinya menghilangkan kewenangan-kewenangan untuk melakukan apa yang dinamakan penyadapan," tambah Indriyanto.
Hal lain yang dikritisi Indriyanto adalah mengenai pengangkatan penyelidik yang hanya dapat diusulkan dari kepolisian atau kejaksaan. "Pasal 45 ayat 2 juga di sini penyelidik yang diangkat dan diberhentikan komisi itu harus atas dasar usulan Polri dan Kejaksaan, ini sama sekali berlainan dengan KPK, tidak pernah ada yang seperti itu sebelumnya selama lembaga ini berdiri," ungkap Indriyanto.
Keenam belas, penyitaan harus berdasarkan izin Ketua Pengadilan Negeri (pasal 49); Ketujuh belas, masih adanya pengaturan wewenang penuntutan dalam pasal 53; dan Ketujuh belas pembatasan UU hanya berlaku selama 12 tahun setelah UU diundangkan yang artinya juga masa berdiri KPK pun hanya 12 tahun (pasal 73).