Senin 16 Nov 2015 17:03 WIB

Pencatut Nama Presiden Sama Saja Mengkhianati Negara

Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana Widodo di pintu pesawat kepresidenan.
Foto: Setkab
Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana Widodo di pintu pesawat kepresidenan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI terkait politikus yang menjual nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla kepada pimpinan Freeport. Selain meminta jatah saham di Freeport, politikus itu juga meminta projek pembangkit listrik di Timika, sebagai syarat untuk memperpanjang kontrak Freeport.

Aktivis Petisi 28, Haris Rusly mengatakan, Menteri ESDM Sudirman Said bukan orang pertama yang mendengar langsung percakapan politikus 'broker' tersebut dengan pimpinan Freeport. Ia menduga Sudirman mendapatkan laporan dari dua pejabat Freeport yang sedang bergerilya melakukan pendekatan politik kepada sejumlah pejabat negara untuk memperpanjang kontrak Freeport.

"Karena itu, yang harus dimintai keterangan dan klarifikasinya terkait politikus yang mencatut nama Presiden dan Wapres bukan hanya Sudirman Said semata," tutur Haris dalam siaran persnya, Senin (16/11).

"Dua pejabat teras Freeport, yaitu James Muffett dan Maroef Sjamsoeddin, yang kami duga sebagai pihak pertama yang mendengar pencatutan nama Presiden dan Wapres, harus juga dipanggil oleh MKD DPR-RI untuk dimintai kesaksian dan keterangannya."

Dalam pandangannya, kata dia, menjual nama Presiden Jokowi dan Wapres JK untuk mendapatkan saham di Freeport adalah sebuah kejahatan menjual negara atau mengkhianati negara. Sebab itu tak bisa dianggap sebagai sebuah perbuatan 'guyonan' semata. Apalagi menurut Haris yang melakukan kejahatan tersebut adalah politikus yang mempunyai pengaruh kuat di parlemen dan istana negara, yang dapat mengubah arah dan kebijakan negara.

Ia menyebut, kebiasaan menjual negara seakan telah menjadi kebiasaan yang lumrah di negeri ini, namun hukum tidak pernah tegas kepada mereka. Tak hanya politikus dan pejabat negara yang gemar menjual negara, para aktivis LSM yang bermental inlander juga sering menjual masalah dalam negeri Indonesia kepada sejumlah funding dan donatur international untuk mendapatkan dana segar.

Di negeri ini, bahkan 'mayat para aktivis' yang telah mati pun bisa dikemas jadi proposal untuk menyedot dana dari lembaga funding international. "Padahal para pendiri negara kita mengajarkan bahwa kemerdekaan negara Indonesia dicapai tidak dengan proposal yang diajukan kepada lembaga funding asing, tapi oleh sebuah perjuangan yang berdiri atas pengorbanan dan persatuan dari rakyat Indonesia sendiri," kata Haris.

Tak hanya nama Presiden dan Wapres yang dijual untuk mendapatkan saham Freeport, bahkan UUD Amandemen hingga UU. "Paket Kebijakan Ekonomi dan Perda banyak yang diorder oleh kepentingan asing dan para taipan untuk memuluskan kepentingan politik dan bisnis di Indonesia," tutur dia.

Ia menyebut, banyak pejabat Indonesia yang mempunyai pengabdian ganda, di satu sisi selain bekerja, digaji dan mendapatkan fasilitasi negara RI. "Di sisi yang lain juga menjual dirinya menjadi pegawai kepentingan asing dan kacung dari kepentingan korporasi, baik asing maupun nasional," kata dia.

Karena itu, untuk mencegah tidak terulang kembali kejahatan serupa, maka, selain dipanggil dan diperiksa oleh MKD DPR RI, Haris juga mendesak Polri melalui Keamanan Negara (Kamneg) untuk memanggil dan memeriksa Menteri ESDM Sudirman Said, James Muffett, dan Maroef Sjamsoeddin selaku pejabat Freeport.

"Maroef Sjamsoeddin sebagai mantan Wakil Kepala BIN harus membuktikan, apakah dirinya berpihak kepada merah putih atau mendukung Freeport?" tutur Haris.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement