REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo diminta untuk ambil alih kegaduhan perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Dikhawatirkan, kegaduhan ini akan makin liar dan mengancam iklim investasi yang mulai membaik.
Ketua Umum BPP Hipmi Bahlil Lahadalia menilai, dengan kondisi Indonesia yang sedang gencar mengundang investor, gaduh Freeport ini akan membuyarkan ketertarikan investor. “Berlarut-larut kegaduhan ini tidak baik untuk iklim investasi,” ujar Bahlil, Senin (23/11).
Bahlil mengaku pihaknya mendapat banyak pertanyaan dari investor akan masa depan investasi di Indonesia sejak munculnya kegaduhan soal saham PT Freeport. Kondisi justru berlawanan dengan upaya untuk mendongkrak nilai investasi.
“Ada banyak pertanyaan yang datang ke kami, iklimnya seperti apa. Kepastian hukum gimana. Semua rana dipolitisasi. Harusnya hukum yang bicara,” ujar Bahlil.
Bahlil menambahkan, kredibilitas iklim investasi di Indonesia akan sangat ditentukan oleh penyelesaian secara hukum atas berbagai sengketa, pertikaian, atau pelanggaran etika korporasi. Sebab, katanya, bila nuansa politik terlalu kental, maka investor enggan untuk menanamkan modalnya di Tanah Air.
Pengusaha asal Papua ini juga mengatakan, saat ini terdapat banyak kontrak karya dengan investasi miliaran dolar AS yang tersebar di berbagai daerah. Berbagai pihak memiliki kepentingan masing-masing dalam kontrak karya tersebut, termasuk mengincar saham. Di sisi lain pemerintah telah berada dilangkah yang tepat yakni bagaimana meningkatkan kontribusi perusahaan-perusahaan yang berinvestasi tersebut bagi negara atau daerah dimana perusahaan itu berada.
“Sayangnya, kebijakan dan negosiasi pemerintah ini tidak dikelola dengan baik isunya yang sangat sensitif. Sehingga yang muncul kegaduhan. Ditambah lagi banyak pihak yang ikut minta bagian,” ujar Bahlil.
Tak hanya itu, Bahlil juga mengingatkan agar renegosiasi divestasi saham Freeport juga melibatkan peran investor dan pengusaha asal Papua. Sebab ke depan, PT Freeport diharapkan mampu mengakomodir dan bermitra dengan pengusaha-pengusaha Papua.
"Bagaimanapun Freeport itu ada di Papua. Yang punya tanah juga harus diajak bicara baik-baik. Yang punya tanah saja tidak ribut-ribut seperti pengusaha Jakarta. Mestinya ada rasa malu,” ujar Bahlil.