REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setara Institute menilai kehadiran Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan sesungguhnya tidak relevan dengan tugas Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Apalagi, jika tujuannya untuk memastikan adanya pelanggaran etika kategori berat atas Ketua Setya Novanto.
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, kinerja MKD sudah tidak lagi menjanjikan dapat mengungkap kebenaran. Luhut tidak hadir dalam pertemuan antara Maroef, Riza, dan Novanto, namun namanya dicatut. "Karena itu Luhut sebaiknya melaporkan tindakan pencatutan itu ke polisi, bukan malah marah-marah dan sesumbar akan melawan siapapun yang sensasional," ujarnya, Senin (14/12).
(Baca: Perempuan Harus Punya Posisi Tawar Politik)
Dengan melapor ke aparat penegak hukum, lanjutnya, maka klarifikasi atas peristiwa pencatutan tidak menimbulkan kegaduhan. "Upaya pelaporan Novanto dan Riza adalah demi kehormatan diri dan menjaga wibawa negara karena Luhut adalah pejabat negara," kata Hendardi.
MKD memerlukan kesaksian Luhut karena namanya disebut 66 kali dalam rekaman percakapan antara Maroef, Riza, dan Novanto. Seperti diberitakan sebelumnya, Luhut mengaku terganggu dengan pemberitaan terkait kontrak karya PT Freeport Indonesia. Dia pun membantah terlibat dalam perpanjangan kontrak karya PT FI.
Saat masih menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan, ia merekomendasikan kepada Presiden untuk mengkaji perpanjangan kontrak karya itu mengingat pemerintah masih punya waktu hingga 2019. Ketika menjabat sebagai Menko Polhukam, Luhut tetap berpendapat perpanjangan kontrak karya PT FI bisa diajukan pada 2019.
Baca juga: Wagub Jatim: Mulailah Menabung Air