REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Banyak asisten rumah tangga (ART) yang dibawa ke Australia untuk bekerja di kedutaan dan konsulat ternyata tidak mendapat bayaran layak, diperlakukan buruk, dan dalam beberapa kasus, diperlakukan seperti budak. Sejumlah LSM di Canberra mendesak dihentikannya praktik ini.
Belasan staf lokal dari berbagai kedutaan ini telah mengadukan perlakuan yang mereka terima kepada beberapa LSM dalam beberapa tahun terakhir.
"Rumah aman yang kami miliki untuk korban perdagangan manusia dan perbudakan semakin banyak digunakan untuk menampung para staf lokal kedutaan yang meminta bantuan. Mereka tidak dibayar, tidak memiliki keleluasan untuk pergi, tidak bisa mengontak anggota keluarga dan bahkan kadang kali mengalami kekerasan fisik," kata Jenny Stanger, pendiri pertama rumah perlindungan bagi perempuan yang diperdagangkan.
Ibu Kota Australia Canberra dianggap menjadi penempatan bagus bagi para diplomat. Sebagian besar kehidupan mereka berkisar dari undangan dan acara makan malam, sesuatu yang memang menjadi bagian dari kehidupan diplomat.
Untuk membantu mereka, para diplomat ini diizinkan membawa ARTdari negara asal ke Australia.
Namun, mantan diplomat senior Australia Bruce Haigh mengatakan beberapa diplomat mengambil ART dari negara mereka sendiri atau mengambil dari negara yang kurang kaya, untuk dijadikan pekerja di rumah kedutaan.
Haigh menggambarkan praktik ini cara kuno dan terbuka untuk disalahgunakan.
"Yang menjadi alasan adalah para diplomat memerlukan pembantu untuk mempersiapkan pesta makan malam atau memastikan rumah mereka bersih. Tetapi ini mitos, khususnya di Canberra, karena ada begitu banyak perusahaan katering dan jasa lain yang bisa digunakan oleh kedutaan, sesuai dengan anggaran yang mereka punya," kata Haigh.
Baca juga:
Mengapa Toilet di Jepang Sangat Bersih? Cek 4 Fakta Kerennya
Ilmuwan Gunakan Teknologi Cuci Darah untuk Saring Sel Kanker