Jumat 01 Jan 2016 16:19 WIB

Kisah Sagu Papua

Red: Citra Listya Rini
Kapurung biasanya disantap dengan sagu atau sinonggi, yang mirip dengan sagu Papua atau papeda.
Foto:
Sagu

General Manager Perhutani Papua Ronald Guido Suitela menuturkan pembangunan pabrik pengolahan sagu diawali dengan penelitian dan pendekatan ke masyarakat Kais di Papua Barat tahun 2011.

"Awalnya berbagai penolakan datang dari masyarakat dengan maksud dan tujuan Perhutani mendirikan pabrik," kata Ronald.

"Mereka selalu meminta uang kepada kami, tapi kami pada dasarnya memang tidak memiliki itu, akhirnya saya menjelaskan jika meminta uang kami tidak ada, tapi jika ingin kaya bersama-sama kami bisa membantu, dengan memberi pekerjaan melalui pabrik sagu," kata dia.

Akhirnya, dengan bantuan dari tokoh adat sekitar masyarakat mendukung pembangunan pabrik dan proses pembangunan mulai dilakukan tahun 2013. Pabrik Sagu Perhutani yang berada di Kais itu akan bisa menyerap 500 tenaga kerja lokal.

"Warga sekitar banyak yang sudah mulai bekerja, sejak mulai pembangunan pabrik 2013, dengan ini perekonomian kami terbantu," kata Kepala Lembaga Masyarakat Desa Hutan, Efradus Bandi.

Keberadaan pabrik itu, menurut dia, meningkatkan aktivitas daerah yang kebanyakan warganya mencari nafkah dengan berburu atau berdagang itu. Perahu yang melewati sungai kini bertambah banyak, kegiatan perdagangan juga makin ramai.

Pembangunan pabrik juga disertai dengan pembangunan jalan sehingga perjalanan menuju Kais dari Sorong yang sebelumnya harus ditempuh selama enam jam melalui perairan kini bisa dicapai dalam waktu sekitar tiga jam lewat jalan darat. "Pabrik ini sudah 95 persen selesai, dan masyarakat sudah mendapatkan manfaatnya," katanya.

Pabrik seluas lima hektare yang ditargetkan bisa memproduksi 30.000 ton sagu per tahun itu mulai beroperasi 31 Desember 2015 menggunakan tenaga diesel karena belum terjangkau jaringan listrik.

Setelah pabrik beroperasi, warga Kais bisa memasok sagu ke pabrik dengan harga Rp9.000 per gelondong, tidak lagi harus menempuh perjalanan ke Pasar Sorong menggunakan perahu untuk menjual sagu mereka.

"Sebelum ada pabrik ini, masyarakat mengirim sagu ke Pasar Sorong dengan harga Rp100.000 per karungnya. Namun harga tidak konsisten dan jaraknya terlampau jauh, karena untuk pergi dan pulang bisa sampai dua minggu, apalagi bensin motor boat sangat mahal," kata Efradus.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

  • Sangat tertarik
  • Cukup tertarik
  • Kurang tertarik
  • Tidak tertarik
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement