REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat dua persen pengajuan sengketa dinilai telah merusak kualitas pemilihan kepala daerah (Pilkada). Sebab, MK saat ini tengah menangani ratusan sidang sengketa hasil pilkada serentak 9 Desember 2014 lalu.
"Artinya jika dengan dasar MK harus tunduk pada ketentuan Pasal 158 UU Pilkada lalu, itu mengabaikan kecurangan-kecurangan yang nyata terjadi dalam penyelenggaraan pilkada yang berakibat rusaknya kualitas pilkada serta runtuhnya proses demokrasi dalam penyelenggaraan pilkada,'' kata Sekjen Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Achmad Saifudin Firdaus.
Menurut Saifudin, pelaksanaan pilkada telah diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang mengatakan bahwa Pemilihan kepala daerah dipilih secara Demokratis. Maka sejatinya MK sebagai 'The Guardian of The Constitution' telah mengkhianati amanat konstitusi itu sendiri.
Ia juga mengkiritik sikap Ketua MK Arif Hidayat, yang bersikeras tidak mau memproses sengketa pilkada jika selisih suaranya tidak 0,5 persen sampai dua persen. Sebab, MK hanya mengacu pada UU yang berlaku.
"Pernyataan Ketua MK tersebut mengakibatkan MK terjebak dalam keadilan prosedural dimana seharusnya kedudukan MK sebagai The Guardian of The Constitution menjadi turun tingkatannya hanya sebagai corong undang-undang, hal ini merupakan preseden buruk bagi perjalanan MK ke depan," jelasnya.
Padahal, lanjut dia, secara konsep hakim bukan sekedar corong undang-undang, tetapi dalam situasi tertentu ia dapat melampaui undang-undang atau dapat menerobos undang-undang, dengan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan atau HAM untuk menemukan hukum baru yang dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang ditanganinya.