Sabtu 23 Jan 2016 14:15 WIB

Cerita Warga yang Dicap Anggota Gafatar dan Rumahnya Dibakar

Rep: Andrian Saputra/ Red: Nur Aini
 Dua orang melepas tiang bendera di lokasi permukiman warga eks-Gafatar yang dibakar massa di kawasan Monton Panjang, Dusun Pangsuma, Desa Antibar, Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalbar, Selasa (19/1). (Antara/Jessica Helena Wuysang)
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Dua orang melepas tiang bendera di lokasi permukiman warga eks-Gafatar yang dibakar massa di kawasan Monton Panjang, Dusun Pangsuma, Desa Antibar, Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalbar, Selasa (19/1). (Antara/Jessica Helena Wuysang)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Banyak kisah yang diceritakan para mantan anggota Gafatar setibanya di Wisma Transit Transmigrasi Provinsi Jawa Timur. Sebagian warga kebingungan lantaran tak tahu di mana mereka harus tinggal selanjutnya.

Sebanyak 388 jiwa mantan anggota Gafatar itu diterbangkan menggunakan pesawat Lion Air JT 2837 dan JT 3837 dari Pontianank, Kalimantan Barat, Jum'at (22/1). Setengah dari jumlah tersebut tiba di Bandara Juanda, Sabtu (23/1).

Masih ada duka dan kesedihan mendalam ketika Republika.co.id menjumpai satu per satu warga yang di tempatkan di sembilan barak berbeda.

Seperti yang diceritakan Parmi (51 tahun) warga Surabaya. Air matanya langsung berlinang ketika kembali mengingat peristiwa pembakaran rumah dan lahan miliknya di daerah Mempawah, Kalimantan Barat.

"Habis, habis. Nggak ada yang bisa dibawa, barang-barang juga dibakar. Cuma sisa baju saja yang dipakai," ungkap Parmi mengenang peristiwa tersebut.

Ia menjelaskan di Mempawah merupakan tempat khusus bagi warga asal Jawa Timur. Sehari-harinya mereka bekerja mengolah lahan pertanian. Ada dua hektare lahan yang digarap Parmi dan beberapa keluarga lainnya. Mereka menanam beberapa jenis sayur mayur dan kacang-kacangan.

Namun, pembakaran pada Selasa (19/1) membuat Parmi tak bisa berbuat banyak. Lahannya rusak diinjak-injak dan dihancurkan. Rumahnya dibakar sementara ia tak mampu menyelamatkan barang-barang di dalamnya. "Setelah itu kami dikumpulkan, dibilang sesat. Apa yang sesatnya? Kami cuma cocok tanam saja," tutur Parmi yang menolak dirinya disebut menjadi anggota Gafatar.

Kini Parmi beserta suami dan satu orang anaknya justu merasa kebingungan. Lantaran dikembalikan ke Surabaya. Sebab, di Surabaya pun ia tak mempunyai tempat tinggal. Ia berharap ada solusi yang diberikan pemerintah daerah agar keluarganya bisa lagi melakukan cocok tanam. "Dulu kami mengontrak. Jadi mau ke mana, nggak punya uang juga buat ngontrak, kalau bisa ya ada lahan cocok tanam lagi," tuturnya. Sementara itu pengembalian mantan anggota Gafatar gelombang II rencananya akan berlangsung pada malam ini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement