REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengakui, kasus virus Zika sudah pernah ditemukan di Indonesia pada awal 2015. Temuan itu pertama kali dikonfirmasi lembaga penelitian Eijkman dari di sebuah rumah sakit di Jambi.
Dalam situs resminya, tertanggal 27 Januari 2016, tim peneliti Lembaga Eijkman, antara lain Perkasa A, Yudhaputri F, Haryanto S, Hayati RF, Ma’roef CN, dan Antonjaya U, berhasil menemukan virus Zika setelah meneliti sampel dari 103 pasien. Penelitian ini berdurasi sejak Desember 2014 sampai April 2015.
“Itu (temuan virus Zika) sudah lama selesai. Waktu itu kan (tim peneliti) mau melakukan survei, ketemu (virus Zika). Memang ada,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes, Oscar Primadi saat dihubungi, Jumat (29/1).
Temuan itu, kata dia, menegaskan Indonesia berpotensi memunculkan kasus virus Zika. Sejak pertengahan Januari 2016, sudah puluhan negara di Amerika Latin yang mengalami status bahaya virus Zika. Namun, Oscar menekankan, belum ada laporan kematian di Indonesia akibat infeksi virus Zika.
“Dari sisi potensi ada di kita. Tapi kan kasus kematiannya tidak ada yang dilaporkan,” ucapnya.
Sejauh ini, dampak virus Zika baru diketahui dari kasus kelahiran. Ibu yang sedang mengandung akan melahirkan bayi abnormal bila terpapar virus Zika. Bayi tersebut akan memiliki kepala yang lebih kecil (microcephaly) dibandingkan ukuran normal.
Spesies pembawa virus Zika adalah nyamuk Aedes, yang juga menyebarkan virus penyebab demam berdarah dengue (DBD). Untuk itu, Oscar menjelaskan, upaya pemberantasan sarang nyamuk DBD otomatis akan memutus mata rantai persebaran virus Zika. Karena itu, ia mengimbau masyarakat giat melakukan 3M, yakni menguras dan menutup penampungan air bersih serta mengubur wadah penampung genangan air.
“Jangan bikin sarang nyamuk. Nyamuk itu (Aedes) berkembang biak di tempat tergenangnya air bersih, bukan air kotor atau comberan. Ban bekas dibuang dan dikubur. Kemudian juga bekas minuman kemasan.”