REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom INDEF Eko Listiyanto memandang prospek rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan pada 2016 akan mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu.
"Tahun lalu cukup besar, tantangannya ada di stabilitas nilai rupiah, yang melebihi target. Sehingga kemudian berimplikasi langsung pada perusahaan yang berkaitan dengan mata uang asing.
Tahun ini perkaranya agak berkurang, dampak dari kejutan di NPL akan sedikit berkurang di tahun ini. Kemungkinan sih tidak akan jauh berbeda dari tahun lalu," kata Eko, Senin (1/2).
Menurutnya, kondisi perekonomian Indonesia tahun ini memang masih dipengaruhi oleh eksternal yaitu melemahnya ekonomi Cina sebagai salah satu mitra dagang indonesia, yang juga berpotensi menurunkan demand. Namun, dengan pertumbuhan ekonomi Cina di atas enam persen, sudah bisa berprediksi apa saja sektor usaha yang berkaitan langsung atau berbisnis langsung dengan Cina.
"Tentu mereka bisa mengukur, kita tahun ini pinjam ke bank berapa atau mengeksekusi kreditnya atau menarik kredit ke bank itu berapa. Sehingga saya rasa itu sudah bisa dipertimbangkan sekali," ujarnya.
Pada tahun ini, kata Eko, karena tren pertumbuhan ekonomi menurun, perbankan akan lebih berhati-hati dalam mengucurkan kredit. Yang tadinya harapannya bisa tumbuh 16 persen, hanya mampu 9 persen hingga 11 persen. "Itu sudah menunjukkan bahwa perbankan antisipatif dengan adanya peningkatan NPL itu," ujarnya.
Di tahun ini, kata dia, apabila menggunakan asumsi atau target pemerintah yaitu pertumbuhan ekonomi 5,3 persen dan pertumbuhan kredit sekitar 12 persen atau 13 persen. Dengan realisasi kredit tahun lalu di angka 13 persen, jika tahun ini kredit tumbuh 13 persen, menurutnya NPL masih bisa dikelola oleh bank-bank umum.
"Cuma memang dengan upaya-upaya dari pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi memang ada resiko kenaikan NPL,"