REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Kartono Mohamad mengatakan kejadian kebakaran "chamber" hiperbarik di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut dr Mintohardjo merupakan akibat dari risiko teknis.
"Bila pihak TNI AL menyatakan ada hubungan arus pendek, mungkin saja ada kabel yang terkupas atau sambungan yang kendor pada alat yang digunakan untuk terapi hiperbarik," kata Kartono dihubungi di Jakarta, Selasa (15/3).
Mantan dokter TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir mayor itu mengatakan, hubungan arus pendek yang menimbulkan percikan api dapat menyebabkan ledakan atau kebakaran pada "chamber" hiperbarik.
"Pada prinsipnya, terapi hiperbarik adalah memasukkan oksigen murni ke dalam tubuh dengan menggunakan tekanan. Tekanan oksigen di dalam alat untuk terapi hiperbarik sangat tinggi sehingga mudah meledak dan terbakar bila terpercik api," tuturnya.
Kartono menyatakan pada dasarnya terapi hiperbarik aman untuk dilakukan. Bila kemudian ada risiko teknis yang terjadi, dia menduga ada beberapa faktor penyebab. Kartono mengatakan kemungkinan risiko teknis yang terjadi pada "chamber" hiperbarik di RSAL dr Mintohardjo adalah alat yang sudah tua atau perawatan yang kurang memadai.
"Terapi hiperbarik sudah lama dilakukan di lingkungan TNI AL, tapi saya meyakini pasti ada upaya melakukan pembaruan dengan membeli peralatan-peralatan baru," paparnya.
Terapi hiperbarik pada awalnya dilakukan pada para penyelam yang mengalami dekompresi akibat perubahan tekanan yang pada saat menyelam dari kedalaman air ke permukaan secara tiba-tiba.
Pada perkembangannya, terapi hiperbarik juga digunakan pada penyakit-penyakit medis lain, termasuk untuk kecantikan atau kesegaran tubuh. Sebuah insiden terjadi di Ruang Udara Bertekanan Tinggi RSAL dr Mintohardjo pada Senin (14/3). "Chamber" hiperbarik terbakar, diduga akibat hubungan arus pendek.
Empat orang meninggal dunia akibat kejadian itu yaitu anggota DPD yang juga Ketua Umum PB PGRI Sulistyo, Irjen Pol (Purn) Abubakar Nataprawira, Edi Suwandi dan dr Dimas.