Ahad 03 Apr 2016 13:48 WIB

‎Pengamat: Reklamasi Pantai Utara Jakarta Butuh Perda

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Karta Raharja Ucu
Sebuah kapal melintasi lokasi yang akan dibangun Pulau G atau Pluit City dalam Reklamasi Teluk Jakarta di Pluit, Jakarta, Kamis (5/11).
Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Sebuah kapal melintasi lokasi yang akan dibangun Pulau G atau Pluit City dalam Reklamasi Teluk Jakarta di Pluit, Jakarta, Kamis (5/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi D DPRD DKI Jakarta saat ini tengah membahas rancangan peraturan daerah (raperda) Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara (RZWP3K). Tak hanya itu, Komisi D juga sedang membahas revisi peraturan daerah (perda) Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantai Utara Jakarta.

Namun pembahasan tersebut hingga kini masih tarik ulur. Pengamat lingkungan Ubaidillah menduga tarik ulurnya pembahasan raperda dan perda tersebut membuat perusahaan pengembang 'kehilangan akal'.

Pengembang terus mendesak agar ada payung hukum yang lebih kuat untuk mereklamasi pantai utara Jakarta. Mereka membutuhkan raperda dan perda yang memiliki kekuatan lebih besar dari sekadar Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta.

Pengembang ingin agar raperda tersebut disahkan. Namun ternyata raperda tersebut tidak bisa begitu saja disahkan mengingat menuai banyak kontroversi.

"Ini yang mungkin membuat pengembang agak panik atau bagaimana, mentok sana-sini sehingga ada suap-menyuap dan sebagainya," kata Ubadillah kepada Republika.co.id, Ahad (3/4).

Dia mengatakan selain Pulau G, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah mengeluarkan izin lain, yakni untuk Pulau H, I, dan pulau lainnya. Seharusnya, kata dia, izin tidak perlu dikeluarkan mengingat tidak adanya payung hukum.

Jika memang Pemprov DKI konsisten dengan aturan, maka hendaknya dibuat produk regulasi yang lebih kuat untuk mengakomodirnya. Salah satunya perda sebagai turunan dari peraturan Presiden atau undang-undang.

"Jangan lupa juga ketika membuat perda, perhatikan kepentingan nasional," kata Dewan Pembina WALHI DKI Jakarta ini.

Dalam hal ini misalnya, yang berkaitan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang juga perhatian dalam persoalan reklamasi ini.

Namun menurut dia, keberadaan dua kementerian tersebut cenderung diabaikan, lalu serta merta menggunakan SK Gubernur DKI Jakarta supaya seolah-olah harus membutuhkan perda. "Nyatanya perda juga tak kunjung selesai sehingga memunculkan potensi suap-menyuap untuk memuluskan perda," kata Ubaidillah.

Seperti diberitakan sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengangkap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi. Diduga, politikus Gerindra tersebut menerima suap dari perusahaan pengembang untuk memuluskan rancangan peraturan daerah mengenai reklamasi di Teluk Jakarta.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement