REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi telah mengumumkan hasil autopsi jenazah terduga teroris, Siyono (34 tahun), yang diduga kuat tewas lantaran dianiaya oleh personel Detasemen Khusus Anti Terorisme 88 (Densus 88) Polri. Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Achyar Salmi menilai, kasus kematian Siyono dapat dibawa ke ranah hukum.
Sebagai warga negara, pihak keluarga melalui tim advokasi Siyono bisa mengajukan para personel Densus 88 tersebut ke proses hukum. ''Sebagai negara hukum, itu sangat dimungkingkan. Selain itu, sebagai warga negara, jika dia merasa dirugikan oleh pihak mana pun, maka dia berhak membawanya ke proses hukum. Itu hak dia, semua pihak harus menghargai,'' kata Achyar saat dihubungi Republika.co.id, Senin (11/4).
Achyar menjelaskan, pihak keluarga dapat melaporkan tindak pidana tersebut ke pihak kepolisian. Nantinya, pihak kepolisian akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terkait tindak pidana tersebut. Jika buktinya dianggap cukup, maka kasus tersebut harus dilanjutkan prosesnya ke Kejaksaan, hingga akhirnya ke pengadilan.
Dalam kondisi tersebut, oknum tersebut sudah bukan polisi lagi, tapi dilihat sebagai orang yang diduga melakukan tindak pidana. Proses hukum terhadap personel kepolisian akan menggunakan proses pengadilan pidana biasa. Termasuk penyidik yang berasal dari kepolisian.
- Tulang Dada Patah ke Arah Jantung Penyebab Utama Kematian Siyono
- Penyebab Kematian Siyono: Tulang Iga Patah Menusuk Jantung
- Dua Bungkus 'Uang Damai' untuk Suratmi Akhirnya Dibuka, Berapa Isinya?
Namun, Achyar mengingatkan, pihak kepolisian harus bisa transparan dan objektif dalam penanganan kasus Siyono tersebut. Hal ini terkait dengan kredibilitas terhadap institusi Polri itu sendiri. ''Kalau tidak nanti kurang positif buat Polri. Banyak masyarakat kita ini terkadang sudah antipati terlebih dahulu. Ini kesempatan polisi untuk membuktikan. Kalau memang memenuhi syarat untuk diproses, proses secara transparan,'' ujar Achyar.
Tidak hanya itu, ebenarnya dalam kasus penganiyaan Siyono ini tidak hanya pelaku yang diadili, tapi juga orang yang memberi perintah. Hal ini sesuai dengan Pasal 55 KUHP, yang dianggap turut melakukan atau membantu peristiwa pidana.