REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum acara pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Hibnu Nugroho mengungkapkan, hasil autopsi yang dilakukan PP Muhammadiyah dan dokter forensik Polda Jawa Tengah terhadap terduga teroris Siyono (34 tahun) bisa menjadi bukti kuat.
"Yang namanya bukti itu, tidak berdiri sendiri. Bukti autopsi juga tidak berdiri sendiri. Autopsi itu, apabila bernilai yakni jika berkaitan dengan bukti yang lain," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (12/4).
Sebelumnya, tim advokasi mengumumkan hasil autopsi jenazah Siyono pada Senin (11/4) lalu. Komisioner Komnas HAM, Siane Indriyani mengatakan, Siyono mengalami luka di kepala, lima tulang iga patah. Patahan tulang dada itu yang dinilai menewaskan Siyono.
Sementara itu, menurut versi kepolisian, penyebab kematian Siyono yakni pendarahan di belakang kepala akibat benturan benda tumpul. Saat ini, Hibnu menuturkan, hasil autopsi menyatakan versi kepolisian dan tim advokasi berbeda.
Dari hasil tersebut, ia lebih meyakini hasil dari tim advokasi. Menurutnya, hasil tersebut lebih bernilai dari versi kepolisian. "Rupanya cenderung punya tim advokasi (hasil autopsinya). Itu saya kira yang lebih bernilai," tuturnya.
Selain itu, berdasarkan hasil autopsi tersebut, ia mengatakan, membuktikan ada kejanggalan dan kekeliruhan yang dilakukan Densus 88 hingga terjadinya suatu tindak pidana. "Bukti itu (hasil autopsi) menunjukkan suatu kekeliruhan. Dan yang dipakai (di pengadilan) bukti yang terakhir, bukti yang bernilai," jelasnya.
Untuk menghindari pro kontra terhadap penggunaan bukti di pengadilan, ia mengatakan, para hakim tidak perlu membentuk tim autopsi independen untuk menengahinya. Sebab, saat ini sudah ada petunjuk-petunjuk lain akan adanya kejanggalan kematian Siyono.
"Saya kira tak perlu lagi tim independensi. Bahwa hasilnya pasti sama, kematian yang mencurigakan," imbuhnya.