REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang menjajaki kemungkinan pemberian sanksi hukum bagi pengembang proyek reklamasi pantai utara Jakarta yang dinilai bertentangan Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengungkapkan, sanksi yang diberikan nantinya akan melihat hasil dari investigasi strategis oleh tim gabungan yang dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya.
Siti mengakui, pemberian sanksi dan perintah penghentian reklamasi untuk semantara bersifat prosedural. Artinya, pemerintah tidak bisa menabrak aturan hukum yang berlaku. Hal ini lah yang membuat kegiatan proyek reklamasi Teluk Jakarta diketahui masih berjalan.
Ia menjelaskan, pihaknya mengikuti mekanisme teknis yang tertuang dalam pasal 73 UU Lingkungan Hidup untuk melakukan tahapan pemeriksaan dan penyusunan berita acara pemeriksaan (BAP). Setelah adanya temuan pelanggaran, lanjut Siti, baru akan dituangkan dalam payung hukum berupa Peraturan Menteri (Permen).
Meski begitu, Siti mengatakan pemerintah tidak akan gegabah. Pemerintah akan mendekati sanksi bagi pengembang berupa sanksi administratif. Namun, tidak menutup kemungkinan pengembang akan dijatuhi sanksi pidana apabila memang ditemukan pelanggaran.
"Karena proses cara kita memberhentikan sesuatu ada prosedur pemerintahannya. Harus turun dulu di berita acara kemudian analis lalu kami yang keluarkan SK tim penegak hukum kita. Identifikasi pendahuluannya sudah dapat. Secepatnya, timnya sudah disetting dan minggu depan timnya bisa berangkat," katanya, Rabu (20/4).
Sementara itu, Komisi VII DPR bersama Kementerian KLHK juga telah menyepakati sejumlah hal terkait reklamasi ini. Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu menyebutkan, pihaknya meminta Menteri KLHK sesuai kewenangannya untuk mengambil langkah-langkah dan memastikan moratorium seluruh kegiatan reklamasi dan konstruksi yang belum memiliki izin di Pantai Utara Jakarta agar ditaati dan dijalankan.
Poin kedua, lanjut Irawan, bahwa Komisi VII meminta Menteri KLHK, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat sesuai kewenangan melakukan pengawasan secara ketat terkait proses reklamasi untuk mencegah terjadinya pelanggaran di bidang lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU Lingkungan Hidup.
"Ketiga, Komisi VII mendukung pemerintah untuk melakukan kajian secara konprehensif terhadap seluruh dokumen perencanaan kegiatan reklamasi Pantai Utara Jakarta untuk kepentingan penyusunan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS)," ujarnya.
Kementerian LHK juga merilis sejumlah temuan atas proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta. Disebutkan bahwa PT Kapuk Naga Indah (KNI) yang membangun Pulau C, D, dan E ternyata tidak miliki izin lingkungan untuk pembangunan di atas lahan reklamasi.
Selain itu, pengerukan pasir laut juga melebihi persyaratan dalam AMDAL. Disebutkan pula bahwa sumber pasir laut dan batu gunung tidak sesuai dengan AMDAL. PT KNI juga ditemui menggabung Pulau C dan D yang seharusnya terpisah.
Sementara itu, PT Muara Wisesa Samudera (MWS) yang melakukan reklamasi atas Pulau G, disebutkan menolak dilakukan pengawasan. Sejumlah masalah izin juga ditemukan di Pulau F dan O oleh PT Jakarta Propertindo serta Pulau I Timur, J, K, dan L bagian selatan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol.