REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan pemerintah untuk bisa membenahi pendidikan di Indonesia. Terlebih lagi terhadap potret pendidikan di Tanah Papua yang masing buram.
Manager Operasional Wahana Visi Indonesia (WVI) Papua, Charles Sinaga mengungkapkann, masih banyak warga masyarakat yang usianya di atas 15 tahun tidak bisa membaca. “Padahal kemampuan menulis dan membaca merupakan modal dasar untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan berdasarkan UNESCO,” ujar Charles dalam Media Briefing Pembelajaran Pakima Hani Hano di Jakarta, Kamis (28/4).
Charles juga mengatakan, Papua belum mampu menuntaskan Wajib Belajar (Wajar) Sembilan tahun. Hal ini terbukti dengan data Angka Partisipasi Sekolah masyarakat Papua dari Rencana Strategi Dinas Pendidikan (Renstra Disdik) 2013–2018.
Pemerintah harus memiliki strategi bagaimana meningtkan minat sekolah dari usia dini hingga remaja. Pada 2010, sebanyak 76,09 persen anak berusia 7 sampai 12 tahun melakukan kegiatan Sekolah Dasar (SD). Angka ini masih di bawah standar nasional Indonesia 97.95 persen. Setahun kemudian angka partisipasi di usia SD ini meningkat menjadi 76,22 persen dan masih di bawah rata-rata Indonesia yang mencapai 98,02 persen.
Pada tingkat selanjutnya, yakni usia 13 sampai 15 tahun. Pada 2010 sebanyak 73,68 persen di Papua berpatisipasi dalam sekolah, dengan rata-rata Indonesia sekitar 85,47 persen. Selanjutnya di 2011 angkanya sedikit meningkat hingga 74,35 sedangkan presentasi nasionalnya 86,24 persen.
Sementara pada usia 16 hingga 18 tahun, kata Charles, angka di Papua hanya 47,51 persen dengan standar nasional sebesar 55,16 persen. Pada 2011, jumlahnya meningkat menjadi 48.28 persen yang angkanya masih di bawah rata-rata nasional yangbesarannya mencapai 56.01 persen.
“Dari data itu membuktikan bahwa anak usia sekolah yang tidak bersekolah di Provinsi Papua masih cukup tinggi,” ujar Charles. Semakin tinggi jenjang pendidikannya, dia menegaskan, malah semakin rendah partisipasi anak bersekolahnya.