REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Papua Nugini melonggarkan pembatasan bagi sekitar 900 pencari suaka yang ditahan atas nama Australia dengan mengizinkan mereka meninggalkan pusat penahanan saat siang hari, kata seorang pengacara, Kamis (12/5).
Namun kelompok hak asasi manusia menganggap langkah tersebut sebagai pencitraan. Mahkamah Agung PNG pada April menyatakan penahanan pengungsi di Pulau Manus adalah ilegal sehingga memaksa negara kecil di Kepulauan pasifik itu mengumumkan akan menutup kamp.
Ben Lomai, pengacara yang mewakili sebagian besar pengungsi tersebut kepada Reuters mengatakan sejak saat itu PNG mengizinkan 898 pria yang ditahan di Manus meninggalkan kamp saat siang hari. Mereka mendaftar untuk naik satu dari tiga bus menuju kota terdekat dan kembali ke kamp pada petang.
"Papua Nugini telah sedikit melonggarkan pembatasan bagi tahanan. Mereka sekarang bisa masuk kota dan berputar-putar di kamp dengan bebas," kata Lomai.
Wakil kepala migrasi Esther Gaegaming kepada Australian Broadcasting Corporation mengatakan dengan pelonggaran tersebut Papua Nugini telah mengakhiri penahanan para pencari suaka dan pengungsi untuk memenuhi perintah Mahkamah Agung. Namun kuasa hukum para pengungsi menilai langkah tersebut tidak berarti.
"Papua Nugini bisa membuka gerbang untuk memenuhi beberapa hal teknis, namun orang-orang itu tidak bisa bebas keluar dari pusat tahanan kemanapun mereka mau," kata juru bicara Koalisi Aksi Pengungsi Ian Rintoul.
Nasib para tahanan untuk jangka panjang masih belum pasti, dengan PNG dan Australia masih berargumentasi masing-masing bertanggung jawab atas relokasi mereka. Menteri Imigrasi Australia Peter Dutton mengatakan pengambilan keputusan bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Baca: Pelajar 15 Tahun Australia Tertinggal di Matematika, Sains dan Membaca