REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tersangka kasus suap proyek pembangkit listrik di Papua, Dewie Yasin Limpo menyampaikan nota pembelaan (pledoi) pada sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Senin (30/5).
Dalam pledoinya, mantan anggota DPR dari Fraksi Hanura itu mengaku jika ia tidak pernah meminta dan tak mengetahui soal dana pengawalan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH) di Kabupaten Deiyai, Papua.
"Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak mengetahui dan tidak terlibat dalam penerimaan uang (pengawalan) tersebut. Lillahi Ta’ala, saya bersumpah bahwa jangankan menerima uang sepeserpun, melihatpun saya tidak pernah," katanya.
Dewie juga menganggap hukuman 9 tahun penjara dan pencabutan hak politiknya seperti yang dituntutkan oleh jaksa, terlalu berlebihan.
"Saya juga dituntut harus mengembalikan dana sebesar Rp300 juta atau subsider 6 bulan. Menurut saya itu terlalu berlebihan dan kejam," tegasnya.
Tak hanya itu, dalam kasus tersebut Dewie merasa dirinya adalah korban. Korban yang dimaksud Dewie adalah karena dirinya harus mendekam di penjara, padahal dia merasa apa yang dilakukannya adalah untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
"Saya korban. Nama baik saya tercemar, saya dikatakan terbukti menerima dana, sedangkan yang di OTT Rinelda. Itu adalah suatu fitnah dan kebohongan serta pencitraan yang buruk terhadap saya dan itu merupakan pembunuhan karakter," ujarnya sambil menitikan air mata.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK meminta majelis hakim menghukum kedua terdakwa dengan hukuman masing-masing 9 tahun penjara. Keduanya juga diharuskan membayar denda masing-masing sebesar Rp 300 juta, subsideir enam bulan kurungan. Jaksa juga menuntut hak dipilih dan memilih Dewie dicabut.
Dewie dan staf ahlinya, Bambang Wahyuhadi dinyatakan terbukti menerima suap sebesar 177.700 dolar Singapura (sekitar Rp 1,7 miliar) dari Kepala Dinas ESDM Kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii dan seorang pengusaha, Setiady Jusuf kepada Dewie Yasin Limpo.
Uang suap yang diterima Dewi dimaksudkan agar dirinya bersedia mengawal anggaran dari pemerintah pusat terkait rencana pembangunan Pembangkit Listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.
Dewie kemudian meminta Irenius Adii agar mempersiapkan dana pengawalan anggaran sebesar 10 persen dari anggaran yang diusulkan, sebagai imbalan bagi dirinya.
Setelah melakukan berbagai negosiasi, Pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih, Setiadi Yusuf bersedia memberikan dana pengawalan kepada Dewie sebesar 7 persen dari anggaran yang diusulkan, dengan syarat perusahaannya yang menjalankan tender proyek tersebut. Sehingga, apabila Setiadi gagal menjadi pelaksana proyek, maka uang harus dikembalikan.
Dewie kemudian meminta asisten pribadinya, Rinelda Bandaso untuk menjelaskan bahwa dirinya telah menyampaikan proposal pembangunan Pembangkit Listrik di Kabupaten Deiyai, Papua kepada Badan Anggaran.
Setelah mendengar penjelasan, Setiadi pun sepakat menyerahkan setengah dana pengawalan, sebesar Rp 1,7 miliar dalam bentuk dolar Singapura. Uang pun diserahkan pada 20 Oktober di Resto Baji Pamai Mal Kelapa Gading Jakarta Utara dari Irenius dan Setiady kepada Rinelda yaitu sebesar 177.700 dolar Singapura.
Atas perbuatannya tersebut, jaksa merasa Dewie dan Bambang layak disangkakan pasal 12 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.