REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah tidak perlu melibatkan militer untuk membebaskan WNI yang saat ini disandera di wilayah filipina bagian selatan.
Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia itu, operasi militer dapat menimbulkan dampak buruk jika seandainya di masa depan penyanderaan terhadap WNI kembali terjadi.
"Indonesia bisa dianggap sebagai musuh yang harus diperangi oleh kelompok bersenjata itu. Jika dikemudian hari ada lagi WNI yang disandera, selain jadi umpan untuk mendapatkan uang, mereka bisa langsung dibunuh," ujar Hikmahanto ketika dihubungi Antara di Jakarta, Senin (11/7).
Dia mengatakan, penyelesaian yang terbaik untuk saat ini adalah perundingan antara pemerintah Indonesia dan para pemberontak, tanpa melibatkan pilihan tebusan uang dan tindakan militer.
Pemerintah, Hikmahanto menyarankan, tidak diwakili oleh pejabat tinggi negara seperti Presiden atau menteri, tetapi cukup dari Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri.
"Kalau Presiden atau menteri yang turun tangan, penyandera itu semakin senang karena tindakan mereka mendapatkan perhatian nasional," kata dia.
Terkait pembayaran tebusan, Hikmahanto menuturkan, hal itu tidak elok di hadapan pemerintah Filipina. Sebab, lanjut dia, tindakan itu bisa dianggap bentuk dukungan logistik bagi pemberontak yang sedang melawan negara yang dipimpin Presiden Rodrigo Duterte.
"Selain itu, jika diselesaikan dengan uang, seperti yang dilakukan oleh pihak swasta pada peristiwa penyanderaan beberapa waktu lalu, WNI akan terus menjadi sasaran empuk kelompok bersenjata," kata Hikmahanto.
Pria yang pernah mendapat penghargaan British Achieving Award dari Pemerintah Inggris ini pun meminta masyarakat sabar jika perundingan dikedepankan. Sebab tindakan itu bisa berjalan alot, bahkan sampai hitungan bulan.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, pada Sabtu (9/7) sekitar pukul 20.33 waktu setempat, kapal pukat tunda LLD113/5/F yang berbendera Malaysia disergap oleh kelompok bersenjata di sekitar perairan Felda Sahabat, Tungku, Lahad Datu, Malaysia. Kejadian itu sendiri baru dilaporkan oleh pemilik kapal pada Minggu (10/7).
Dari total tujuh ABK kapal tersebut, tiga orang ABK yang seluruhnya WNI diculik dan kini disandera di wilayah Filipina bagian Selatan, sementara sisanya dibebaskan.