REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ingin menutup akademi militer negara. Ia bahkan ingin agen mata-mata dan kepala staf militer berada di bawah kontrol presiden.
"Kami akan memperkenalkan paket konstitusional kecil yang jika disetujui, akan membawa Organisasi Intelijen Nasional (MIT) dan kepala staf di bawah kendali presiden," kata Erdogan dilansir dari BBC News, Sabtu (31/7).
Usulannya itu akan dibawa ke parlemen. "Sekolah militer akan ditutup, kita akan membangu sebuah universitas pertahanan nasional," lanjut dia.
Erdogan menambahkan, gendarmerie atau pasukan bersenjata bukan militer akan dipotong. Namun persenjataan akan ditingkatkan. Ide baru Erdogan ini memerlukan dua pertiga mayoritas parlemen untuk dapat diadopsi, itu artinya ia harus mengamankan dukungan partai-partai oposisi.
Langkah-langkah ini merupakan yang terbaru dalam 'pembersihan' besar-besar yang dilakukan Turki pascakudeta gagal 15 Juli lalu. Pada Kamis, Turki mengumumkan perombakan militer, termasuk pemberhentian tidak hormat 1.700 prajurit militer.
Sekitar 40 persen dari jenderal dan laksamana telah disingkirkan dari jabatannya sejak kudeta. Lebih dari 66 ribu pekerja sektor publik telah dipecat dan 50 ribu paspor dibatalkan. Sementara Kementerian Tenaga Kerja sedang menyelidiki 1.300 pegawainya.
Turki juga telah menutup 142 media dan menahan beberapa wartawan. Negara ini menerapkan tiga bulan keadaan darurat di seluruh negeri.
Tidak sampai di sana, Erdogan telah meningkatkan serangan terhadap negara-negara yang mengkritik tindakannya, memberitahu mereka untuk mengurus urusannya sendiri. Ia pun menuduh Kepala Komando Sentral Amerika Serikat Jenderal Joseph Votel berada di sisi komplotan kudeta. Votel menanggapi dengan mengatakan setiap laporan bahwa ia terlibat dalam kudeta itu disayangkan dan benar-benar tidak akurat.
Pihak berwenang mengatakan, Fethullah Gulen berada di balik kudeta militer yang menewaskan 246 orang. Ulama yang berbasis di AS tersebut membantah tuduhan itu.