REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar berpendapat, kewenangan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) yang dimiliki aparat penegak hukum, bisa menjadi penyebab menumpuknya kasus yang tak kunjung naik ke penuntutan.
Sebab, kewenangan tersebut bisa membuat kasus yang ditangani dijadikan barang dagangan. Apalagi, banyak perkara yang secara resmi belum telegalisir. Situasi ini bisa menjadi potensi tawar-menawar untuk proses penghentian kasusnya.
"Kewenangan SP3 juga bisa menghambat penanganan kasus, karena perkara bisa menjadi komoditi. Apalagi banyak perkara yang secara resmi belum teregister dan afa potensi tawar menawar untuk menghentikannya," kata Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Senin (29/8).
Jika situasinya seperti itu, kata Fickar, maka hukum yang tegas adalah solusinya. Artinya, jika ada jaksa yang terlibat jual beli perkara, maka harus ditindak secara hukum dan juka diberhenyikan dengan tidak hormat.
"Oknum jaksa yang mengkomoditikan perkara harus ditindak secara hukum dan harus dipecat," ucap Fickar.
Sebelumnya, hasil penelitian ICW atas perkembangan kasus korupsi di tiga lembaga penegak hukum pada semester satu 2016, dari 911 kasus hanya 156 kasus atau 17,1 persen yang naik ke penuntutan.
Tunggakan kasus yang masih tetap dalam tahap penyididikan sebanyak 755 kasus. Kejaksaan berada pada urutan tertinggi penunggak kasus dengan total 527 kasus.
Rinciannya, dari 639 kasus yang ditangani kejaksaan, hanya 112 kasus yang naik ke penuntutan (82,5 persen nunggak). Begitupun dengan kepolisian yang hanya menyelesaikan penyidikan 35 kasus dari 246 kasus yang ditangani (85,8 persen nunggak). Sementara KPK, dari 26 kasus yang ditangani, 9 di antaranya naik ke penuntutan (65,3 persen nunggak).