REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil ketua komisi VIII DPR Sodik Mudjahid menilai kasus seperti Dimas Kanjeng Taat Pribadi sudah sangat sering terjadi dalam perjalanan bangsa dan masyarakat Indonesia sejak zaman orde lama, orde baru maupun orde reformasi. Beberapa contoh antara lain kasus bayi ajaib yang bisa memberi fatwa zaman Prof Hamka, kasus Ongkowijoyo yang menggalang dana, kasus batu anak ajaib, dan kasus nabi palsu Mozadegh Al Fatar.
"Semua kasus tersebut selalu terkait dengan tiga hal, yaitu agama, mistis, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Agama dibawa dan dijadikan daya tarik seperti pengakuan nabi palsu, dapat wangsit, dan lainnya," kata Sodiq dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (3/10). Menurut Sodik, unsur mistis selalu memberi warna dan daya tarik seperti penggandaan uang.
Dan dalam setiap kasus selalu melibatkan dan menghebohkan masyarakat strata sosial ekonomi kelas bawah. Dari rentetan peristiwa tersebut yang harus jadi pelajaran adalah evaluasi dan pemantapan program keagamaan.
Pendidikan agama yang benar harus membuat perubahan masyarakat dalam pemantapan akidah dan tauhid. Sehingga, dapat menolak dan mencegah sesuatu peristiwa atau fenomena yang tidak sesuai dengan akidah atau rukun iman seperti nabi palsu, sihir, dan mistis.
Politikus Partai Gerindra ini menilai ibadah yang tekun melahirkan kedisiplinan dan akhlak atau perilaku yang mulia. Akhlak yang mulia sebagai buah dari akidah dan ibadah yang benar, sehingga lahir masyarakat antikorupsi.
Pendidikan agama yang benar jangan hanya formalistik dan lipstick, tapi satu diantaranya harus mampu mencegah ketertarikan masyarakat terhadap hal-hal yang bertentangan dengan akidah dan imannya. "Harus ada evaluasi dan pemantapan program pendidikan khsususnya pendidikan msyarakat (penmas)," ujar Sodiq.
Pendidikan masyarakat terutama masyarakat kelas bawah jangan hanya sebatas paket kejar A dan B yang memberi pelajaran baca tulis. Tapi yang lebih penting adalah kecerdasan logika dan kecerdasan emosi untuk memahami bidang fenomena yang sehat dan mencegah berbagai fenomena yang aneh.
Sehingga, mereka bisa terbebas dari penipuan-penipuan berciri agama dan mistis. Pendidikan harus membangun jiwa secara utuh karena dalam berbagai kasus termasuk dalam kasus Kanjeng Dimas melibatkan beberapa kaum intelektual.
"Selain itu, evaluasi program pengentasan kemiskinan. Peristiwa-peristiwa tersebut selalu membawa daya tarik ekonomi bagi masyarakat miskin yang hidup dalam tekanan ekonomi," kata Sodiq. Sebab, mereka lebih tertarik program-program ini dari pada aneka program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah.
"Jika program pembinaan agama, program pendidikan masyarakat, dan program pengentasan kemiskinan tidak dilakukan sungguh-sungguh dan tidak terpadu maka selama 71 tahun merdeka kita belum mampu melaksanakan amanat UU NKRI 45 dalam meningkatkan kecerdasan bangsa dan kesejehteraan umum. Artinya, kita masih membiarkan masyarakat kita tetap dalam kondisi keterbelakangan yang selalu menjadi sasaran empuk berbagai penipuan berciri agama, mistis, dan iming-iming uang," ujar Soqid.