REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Salah satu harian terkemuka di Amerika Serikat, The New York Times dalam tajuknya mengecam perlakuan penahanan tidak manusiawi Australia terhadap pencari suaka dan menyebut sebagai hal yang memalukan.
Sebelumnya, kelompok pegiat HAM Amnesty International mengeluarkan laporan yang kritis mengenai situasi pusat penahanan milik Australia di Nauru. Dalam tajuk yang berjudul Australia's Stranded Refugee Prisoners, menggambarkan kebijakan Australia untuk mengirim mereka yang datang menggunakan perahu ke Manus Island dan Papua Nugini sebagai kekejaman yang efisien.
"Sementara penahanan ini berhasil menghentikan arus kapal yang datang dari Indonesia yang dipenuhi dengan pencari suaka, para pengungsi-kebanyakan dari Iran, Myanmar, Irak, dan Afghanistan-sekarang menjalani penahanan yang kejam dan tanpa batas waktu," kata koran tersebut.
"Kebijakan ini membebani pembayar pajak Australia sekitar 419 ribu dolar AS (sekitar Rp 4 miliar) per satu orang tahanan per tahun, dan menjadikan negara yang sebelumnya dikenal dalam sejarah yang menerima imigran, menjadi pelanggat hukum internasional," ujarnya.
"Kebijakan Australia bertentangan dengan kewajibannya menurut Konvensi Pengungsi tahun 1951 yang melarang pemindahan pengungsi ke kawasan dimana mereka akan menghadapi kesulitan, dan melindungi mereka yang melarikan diri dari pengejaran, untuk bisa mendapatkan perlindungan.
Tajuk itu muncul setelah munculnya laporan Amnesty Internasional berjudul Island of Despair, yang didasarkan pada wawancara dengan 58 pengungsi dan pencari suaka.
'Kekejaman yang tidak bisa ditolerir'
Tajuk The New York Times ini juga mengkritik kerahasiaan yang menyelimuti pusat penahanan di Nauru, karena biaya untuk mengurus visa wartawan ke sana mahal, dan adanya aturan yang mengancam para staf di sana akan dijatuhi hukuman penjara bila membocorkan keadaan di sana.
"Para kontraktor yang bekerja di sana menghadapi ancaman pidana bila berbicara secara publik mengenai kondisi pusat penahanan. Nauru yang mendapat banyak keuntungan dari perjanjian ini, telah melakukan berbagai usaha untuk menutup-nutupinya. Di 2014, biaya visa wartawan naik dari 178 menjadi 7,126 dolar AS dan melarang tim dari PBB untuk berkunjung," kata tajuk tersebut.
Tajuk itu juga menyertakan kutipan wawancara dan rincian dari laporan Island of Despair, termasuk informasi mengenai usaha melakukan bunuh diri, di kalangan pencari suaka dan pengungsi. Laporan Amnesty menyebutkan kegagalan untuk memberikan lingkungan yang aman sehingga banyak pengungsi tidak bisa bersekolah, dan ini berarti pelanggaran terhadap HAM anak-anak.
Laporan ini hampir sama dengan pengalaman anak-anak yang diungkap oleh program ABC Four Corners report beberapa hari lalu. Direktur Peneliti Senior Amnesty Anna Neistat, yang membuat laporan Island of Despair tersebut mengatakan kepada ABC kondisi yang dihadapi para pengungsi di Nauru, menurutnya lebih buruk dari situasi di Suriah dan Chechnya.
"Dalam kebijakan untuk mencegah kedatangan manusia perahu ini, pemerintah Australia membuat usaha dimana terjadi kekejaman yang tidak bisa ditolerir dan penghancuran integritas fisik dan mental ratusan anak-anak, pria dan wanita, yang dijadikan alat dari kebijakan pemerintah. Dalam melakukan hal tersebut, pemerintah Australia melanggar hukum HAM internasional dan hukum pengungsi internasional," katanya.
Tajuk itu diakhiri dengan seruan dihentikannya pusat penahanan di luar Australia tersebut. "Dengan jumlah pengungsi yang ditahan di Nauru dan Manus Island sedikit dibandingkan jumlah pengungsi di Timur Tengah dan Eropa, penahanan tidak manusiawi oleh Australia terhadap mereka adalah tindakan memalukan. Pemerintah harus mengakhiri pusat penahanan ini dan menghentikan kebijakan bahwa setiap orang yang datang tanpa visa pasti tidak berhak," kata artikel tersebut.
Pkan ini, Departemen Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan mengatakan tuduhan adanya pelanggaran adalah hal yang dibesar-besarkan, dan dalam dengar pendapat di Senat di Canberra menegaskan hampir semua insiden yang terjadi adalah masalah-masalah kecil.