REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Masyarakat Lamalera di Kabupaten Lembata tetap mempertahankan budaya menangkap paus karena berkaitan erat dengan nilai-nilai kehidupan sosial-religius masyarakat setempat yang sudah diwariskan secara turun-temurun.
"Ini alasan mendasar masyarakat Lamalera, sehingga mereka tetap terus mempertahankan budaya menangkap ikan paus dengan cara-cara yang tradisional pula," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nusa Tenggara Timur Marius Ardu Jelamu di Kupang, Jumat.
Ia mengatakan hal tersebut setelah mendengar langsung tanggapan masyarakat Lamalera dalam seminar tentang Paus di Lembata bersama unsur pemerintah dan para ahli paus dari Australia dan Inggris beberapa waktu lalu .
Menurut masyarakat Lamalera, lanjut Marius, budaya menangkap paus memiliki keterkaitan erat dengan nilai-nilai kehidupan sosial-religius masyarakat setempat yang sudah diwariskan secara turun-temurun.
"Ada nilai-nilai kearifan budaya tradisional yang terus melekat bagi masyarakat Lamalera sehingga kalau dipaksa untuk dihentikan maka akan melenyapkan budaya mereka," kata Marius.
Dia mengatakan, budaya menangkap paus tersebut tidak terlepas dari unsur kehidupan seperti ritual di rumah adat, paledang (perahu yang digunakan untuk menangkap ikan paus), layar dan orang-orang yang diutus khusus untuk melakukan penangkapan.
Sebenarnya, lanjut dia, budaya menangkap paus sudah dilarang oleh berbagai negara di dunia melalui moratorium pada tahun 1982 lewat Komisi Penangkapan Paus Internasional.
"Namun banyak negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, misalnya, menangkap paus untuk tujuan bisnis dan perdagangan dengan peralatan modern," ujarnya.