REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- RSUD Dr Soekardjo Kota Tasikmalaya membenarkan adanya piutang dalam jumlah masif hingga menyebabkan terganggunya pelayanan kesehatan. Tak tanggung-tanggung, jumlah piutang mencapai 25,9 miliar rupiah.
Berdasarkan data yang diperoleh Republika.co.id, piutang RSUD dibagi menjadi empat komponen pembayaran klaim kesehatan, yaitu dari BPJS, Pemkot Tasik, Jamkesda Pemkab Tasik, dan peroangan. Rinciannya, jumlah piutang BPJS sejak September hingga Desember mencapai sekitar Rp 15 miliar; Pemkot sebesar Rp 1,1 miliar rupiah; Pemkab Tasik Rp 5,4 miliar dan perorangan sebesar Rp 4,4 miliar.
Direktur RSUD Dr Soekadjo, Waskito mengakui jumlah piutang yang besar itu menghambat pelayanan kesehatan karena pasokan obat terhenti dari pihak ketiga. Alasannya, pihak RSUD tak lagi mempunyai dana untuk membayar biaya pembelian obat. Tanpa adanya dana segar dari pembayaran piutang, RSUD amat merasakan minimnya pasokan.
Alhasil, pasien rawan inap harus diobati dengan stok yang tersisa. Sedangkan pasien rawat jalan masih bisa mencari obat ke apotek di luar RSUD. Nantinya, biaya pembelian obat tersebut ditanggung RSUD. "Obat-obatan tidak semua kosong, tapi ada 30 persen dari item obat tidak lengkap," katanya pada wartawan.
Ia merasa kecewa terhadap perusahaan-perusahaan farmasi atas tindakan memutus pasokan obat tanpa menimbang dampaknya terhadap masyarakat yang butuh akses kesehatan. Ia menilai mestinya keterlambatan bayar selama tiga bulan tak lantas membuat perusahaan farmasi menyetop suplai. Padahal, ia meyakini RSUD pasti melunasi piutang meski membutuhkan waktu.
Ia menyebut dari sekitar 50 perusahaan farmasi rekanan RSUD, 20 diantaranya menyetop pasokan. Meski menolak menyebut perusahaannya, ia memastikan ke-20 perusahaan farmasi itu adalah 'pemain besar'. "Kami ini RSUD layani orang miskin, RSUD enggak mungkin enggak bayar, kami pasti bayar. Tapi karena telat ngentry dan verifikasi kok rakyat miskin dikorbanin?" sebutnya.
Akibat pasokan obat terbatas, termasuk obat bius anestesi, operasi terhadap pasien sempat terhenti pada Jumat (13/1). Ketika itu, bagian anestesi melaporkan tak ada lagi persedian obat bius. RSUD pun mengambil kebijakan untuk mengatur ulang jadwal operasi bagi pasien yang dinilai tidak terlalu genting kondisinya.
Adapun bagi pasien yang kondisinya genting segera dioperasikan di RS lain. RSUD hanya mampu melakukan operasi dengan suntikan bius spinal atau bius yang menghilangkan rasa sakit ketika operasi, tetapi pasien masih dalam kondisi sadar. Dengan jenis bius tersebut, tentunya RSUD hanya mampu melakukan operasi ringan. "Operasi bisa jalan, tapi spinal (disuntikan), operasi dari anestesi tak lagi bisa," ucapnya.