REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program penambahan luas tanam jagung tahun lalu berdampak pada kelebihan pasokan (over supply) pada tahun ini mencapai 12 juta ton. Hal tersebut membuat khawatir Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT).
Kekhawatiran muncul karena kelebihan produksi berdampak pada jatuhnya harga jagung. Jatuhnya harga jagung membuat petani enggan untuk kembali menanam jagung. Hal ini berdampak panjang karena produksi jagung akan berkurang sementara pemerintah menutup keran impor untuk jagung.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, pihaknya sudah melakukan antisipasi sejak awal. Sebab, peningkatan produksi di satu daerah mencapai 40 persen hingga 50 persen.
Beberapa wilayah yang mengalami kenaikan produksi dalam jumlah besar adalah Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Dompu, Bima, Sumbawa, Jawa Timur, Lampung dan Sulawesi Selatan. Jawa Barat juga mengalami peningkatan meski tidak terlampau tinggi. Sayangnya Amran tidak menyebut berapa angka peningkatan produksi tersebut.
Selain peningkatan luas tambah tanam, kerjasama pemerintah dengan GPMT juga diakui Amran sebagai penyebab tingginya produksi jagung di tanah air. pada 2016, GPMT telah melakukan penandatanganan kesepakatan untuk menyerap produksi jagung dari petani.
"Ini sinergi yang baik dan impor kita turun 66 persen," katanya saat ditemui usai melakukan pertemuan dengan GPMI di Gedung Kementerian Pertanian, Rabu (18/1).
Untuk mengatasi kekhawatiran kelebihan pasokan, GPMT telah mengambil sikap dengan membangun gudang dan pengering untuk menyerap produksi petani tersebut. Amran pun menyuruh pemerintah dalam hal ini Bulog agar membantu penyerapan produksi petani. "Bulog akan turun tangan," tegas dia.
Meski produksi jagung diprediksi over supply, harga jagung di tingkat petani dan konsumen masih dijaga. Di tingkat konsumen harga jagung sebesar Rp 4 ribu sementara di petani harga jagung Rp 3.150. "Itu sudah bagus. Itu harus kita jaga," kata Amran menambahkan.