REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Polres Jakarta Selatan, Nurul Fahmi sempat berencana mendatangi kantor polisi untuk menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat. Namun, karena ada urusan lain yang lebih penting akhirnya niat itu urung dilakukannya.
"Rencananya mau ke Polres Jakarta Timur," katanya saat berbincang dengan Republika.co.id, di kediamannya, Selasa (24/1).
Rencana menyerahkan diri dilakukan setelah banyak pemberitaan yang menyebutkan polisi akan segera menangkap pembawa bendera bertuliskan tauhid saat aksi di Mabes Polri. "Namun karena ada wawancara di Daerah Cinere akhirnya batal. Niatnya setelah wawancara ke kantor polisinya," ujarnya.
Nurul menceritakan setelah pulang dari Cinere menuju tempat kakaknya yang paling tua, smartphone-nya berdering, tanda masuk panggilan dengan nomor telepon yang tidak dikenal. Namun, setelah diangkat panggilan telpon masuk itu tidak menjawab. Sejak itulah Nurul Fahmi memiliki firasat bahwa dia sedang dalam keadaan bahaya ada yang memantau gerak-geriknya.
"Saya yakin kalau itu polisi," katanya.
Karena waktu sudah sore, Nurul memutuskan tidak pulang ke rumahnya di Kampung Tanah 80, Duren Sawit, Klender Jakarta Selatan, tapi pulang ke rumah kakaknya di daerah Cilandak Jakarta Selatan. "Saya hubungi istri kalau saya tidak pulang. Karena kalau habis maghrib waktu saya untuk ngaji," katanya.
Selang beberapa jam berada di rumah sang kaka, sekitar pukul 01.30, seperti biasa Nurul terbangun untuk melaksanakan shalat malam. Namun saat bangun ada yang mengantuk pintu dan menyodorkan kerat untuk ditandatangani.
"Saya minta izin untuk ke toilet juga tidak diberi kesempatan sebelum tanda tangan surat penangkapan itu," katanya.
Setelah itu, Nurul dibawa ke rumahnya di Kampung Tanah untuk mengambil barang bukti bendera dan setelah itu dibawa ke Polres Jakarta Selatan untuk diintograsi selama kurang lebih 24 jam.
"Selesai di-BAP disodori surat penahanan," katanya.