Kamis 02 Feb 2017 08:47 WIB

Dewan Etik MK Usulkan Berhentikan Patrialis dengan tidak Hormat

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bilal Ramadhan
Hakim Mahkamah Konstirusi Patrialis Akbar memberikan keterangan kepada wartawan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1) dini hari.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Hakim Mahkamah Konstirusi Patrialis Akbar memberikan keterangan kepada wartawan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1) dini hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) meminta penjelasan Ketua Dewan Etik MK Abdul Mukthie Fadjar pada sidang perdana MKMK untuk kasus korupsi Patrialis Akbar, Rabu (2/2). Mukthie dalam kesempatan itu menyampaikan usulan dewan etik ihwal kasus Patrialis.

"Kami sampaikan bahwa tuntutannya supaya yang bersangkutan diberhentikan secara tidak hormat. Ini usulan dewan etik," kata dia usai menghadiri sidang perdana MKMK kasus Patrialis, di gedung MK, Rabu (2/2).

Mukthie mengakui Patrialis memang telah mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi pada Senin (30/2) lalu. Namun, pengunduran diri Patrialis itu bukan berarti masalah selesai dan tidak bisa diberhentikan tidak hormat.

Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan dewan etik sebelum mengusulkan agar Patrialis diberhentikan secara tidak hormat. Pertama, kata Mukthie, Patrialis tentu telah mencemarkan nama baik Mahkamah Konstitusi dan juga hakim konstitusi.

Dikatakan pencemaran nama baik, karena Patrialis menjadi tersangka kasus dugaan suap, ditahan, dan bahkan ditangkap melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Di BAP, itu banyak hal. Pertama, kena OTT, ditetapkan tersangka, berada di dalam tahanan, langsung atau tidak langsung ini mencemarkan nama baik Mahkamah Konstitusi dan hakim konstitusi.

Tidak hanya itu, Patrialis juga melakukan pelanggaran etik karena diduga memperjual-belikan draft putusan uji materi atas Undang-undang nomor 41 tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan.

"Berdasarkan informasi yang tentu harus dibuktikan, misalnya tentang draft putusan yang menurut KPK buktinya adalah draft putusan. Sedangkan putusan kan baru dibacakan pada tanggal 7 Februari," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement