REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus penembakkan oleh polisi terhadap sebuah mobil berisi rombongan keluarga di Kota Lubuklinggau, Sumatra Selatan (Sumsel), dilakukan terlalu cepat. Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar menilai, anggota polisi terlalu cepat mengambil kesimpulan apakah itu perampok atau bukan.
Ia mengatakan, apabila ada pelanggaran lalu lintas, maka polisi itu terlalu reaktif sampai menembak. "Padahal, kan itu orang mau kondangan. Itu kalau lalu lintas masuknya pelanggaran enggak? Enggak boleh ditembak. Polisi itu boleh nembak, kalau jiwanya terancam. Kalau enggak terancam, ya enggak boleh dilawan. Kalau orang lari ya enggak boleh dilawan," ujar Bambang, Kamis (20/4).
Menurut Bambang, boleh jadi ada kesalahan prosedur dalam pengambilan tindakan penembakkan itu. Kepala kepolisian setempat juga, menurut dia, patut disalahkan. Mantan perwira senior reserse (1985) itu menyebut, pendekatan yang dilakukan Polri adalah kekerasan.
"Polisi itu, kan seperti di Lampung, begal-begal ditembak mati, kemudian di foto si pelaku, itu kan pendekatan kekerasan. Bunuh, bunuh, bunuh. Itu harus diubah," kata Prof Bambang.
Menurut dia, presiden harus memberikan instruksi ke kapolri, jangan menggunakan pendekatan kekerasan, apalagi represif dalam menegakkan hukum. Seyogianya, kata dia, polisi menggunakan pendekatan preventif atau humanis.
Menurut dia, kejadian seperti ini sudah beberapa kali terjadi. Seharusnya, jangan hanya mengusut bawahan kepolisian tetapi juga sampai ke pangkat di atas anggota kepolisian tersebut.
"Kalau begini terus, bawahan ngikutin-ngikutin saja. Nah, atasan, presiden harus mengingatkan kepada kapolri, hei, jangan lagi kapolri menggunakan pendekatan represif, atau kekerasan, diubah itu. Dari bawahan ya diusut, kapolresnya diusut. Kalau ada kesalahan ya ditindak atau dicopot," ujarnya.