REPUBLIKA.CO.ID, CIAMIS -- Wakil Ketua Majelis Permusyawarakatan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid menolak tegas wacana penghapusan pasal KUHP tentang penistaan agama. Ia menilai wacana penghapusan pasal ini terbilang telat karena sebelum-sebelumnya pernah terjadi.
Politisi asal PKS ini menilai, Indonesia tetap perlu aturan tentang penistaan agama. Pasalnya, sila pertama bangsa Indonesia merepresentasikan ketuhanan. Sehingga tentu, dibutuhkan aturan supaya kehidupan berketuhanan tetap memenuhi azas saling menghormati.
"Prinsip tolak, karena di Indonesia negara NKRI kalau merujuk ke situ jelas negara dasar NKRI berarti ada hubungan dengan agama, hormati agama dan tidak nistakan agama," katanya pada wartawan dalam kunjungannya ke Kabupaten Ciamis, Sabtu (13/5).
Ia juga khawatir apabila pasal penistaan agama dihilangkan, maka akan berpeluang memunculkan para penista agama. Ia mengingatkan bahwa pemberlakuan pasal ini juga berlaku untuk non-Muslim. Sehingga bagi kelompok non-Muslim yang merasa dinistakan oleh pihak tertentu dipersilahkan menuntut dengan ayat ini.
"(pasal) Penista agama kalau dihilangkan bahaya bagi Pancasila karena masih ada pasal saja ada yang nistakan, bagaimana kalau pasal tidak ada? tentu membuka ruang pelanggaran agama apapun, tidak hanya Muslim tapi non-Muslim juga," ujarnya.
Selain itu, ia merasa sudah tak lagi relevan untuk mewacanakan penghapusan atas pasal tersebut. Sebab, dalam pembahasannya di komisi III DPR pun tak menemui masalah. "Kami tolak inisiasi (penghapusan pasal penistaan agama), kalau akan lewat jalur revisi KUHP sudah telat, karena ketika di komisi II tidak ada permasalahan, ini belakangan saja munculnya," ujarnya.
Diketahui, aturan penistaan agama terdapat dalam KUHP pasal 156 a. Salah satu orang yang terkena hukuman atas pasal tersebut adalah Basuki Tjahaja Purnama. Ia divonis dua tahun penjara akibat tindakan penistaan agama.