REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengatakan aksi intimidasi dapat berdampak psikologis bagi korban, meski meski tidak menimbulkan luka fisik. Yohana khawatir korban menjadi minder, kehilangan rasa percaya diri, dan menarik diri dari masyarakat.
"Tidak mustahil, tindakan itu dapat mengancam keselamatan korban," kata dia di Jakarta, Selasa (6/6).
Yohana pun mengecam tindakan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oknum atau kelompok masyarakat, khususnya terhadap perempuan dan anak. Tindakan tersebut melanggar undang-undang yang berlaku karena menghilangkan hak perempuan dan anak yang seharusnya dilindungi dari segala bentuk intimidasi.
"Jika perempuan dan anak diduga melakukan pelanggaran hukum harusnya diselesaikan melalui proses hukum, jangan main hukum sendiri," kata Yohana.
Yohana mendorong koordinasi antarlembaga dan masyarakat sipil dalam situasi seperti sekarang. Pada Selasa kemarin, Yohana Ketua Umum Bhayangkari Tri Tito Karnavian sudah mengadakan pertemuan dengan 87 Organisasi Perempuan dan LSM.
Ia pun meminta organisasi perempuan dan LSM ikut melakukan pencegahan, menyiapkan inovasi-inovasi untuk menghentikan aksi kekerasan pada anak dan perempuan.
Aksi intimidasi tersebut antara lain dialami PMA (15 tahun) di Jakarta dan dokter Fiera di Solok, Sumatra Barat. Aksi intimidasi ini dipicu oleh postingan yang menyinggung salah satu tokoh atau kelompok tertentu di media sosial.
Tri menyatakan aksi kekerasan harus dicegah agar tidak terus berulang. "Kami harapkan kekerasan ini jangan sampai terjadi sehingga menimbulkan korban. Kita menyerukan kepada semua pihak untuk memperlakukan perempuan dan anak sebagaimana mestinya diatur dalam undang-undang," kata Tri.
Menurut Tri, perempuan perlu bersikap tegas menentang kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam bentuk apapun. Hukum positif perlu lebih disosialisasikan kepada masyarakat.
Korban tidak paham konsekuensi hukum yang harus dihadapi saat mengunggah postingan bernada ujaran kebencian. Begitupula, pelaku kekerasan melakukan respon berlebihan karena ketidaktahuan hukum.
Tri mengungkapkan, pemerintah sebenarnya sudah menyusun banyak undang-undang mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hanya saja, sosialisasinya seringkali belum sampai ke tataran masyarakat umum.
"Kita harus menyosialisasikan apa yang sudah dibuat negara untuk melindungi perempuan dan anak," kata dia.