REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti menyatakan, penggunaan internet untuk memproduksi ujaran-ujaran kebencian berdasarkan SARA seperti yang dilakukan kelompok Saracen tidak bisa dihindarkan. Sebab, fenomena tersebut terjadi karena kemajuan teknologi.
Maka dari itu, menurutnya hukum harus terus bergerak mengikuti kemajuan tersebut, sehingga permasalahan baru bisa diatasi. "Fenomena ini tidak bisa dihindari karena kemajuan teknologi. Ini juga harus diantisipasi, sehingga ketika timbul permasalahan karena kemajuan teknologi, hukum dapat mengatasinya," kata Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (29/8).
Fickar melanjutkan, tindakan Kelompok Saracen dalam perspektif hukum, jelas merupakan tindakan yang melawan hukum. Sebab mereka menggunakan internet untuk memproduksi ujaran-ujaran kebencian atas pesanan orang maupun inisiatifnya dengan mendapatkan bayaran.
Kegiatan mereka, lanjut Fickar, melanggar Pasal 28 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, yaitu ayat (2). Yakni, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
"Ancaman hukuman maksimal 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar," ucap Fickar.
Fickar juga meyakini, kelompok-kelompok seperti Saracen jumlahnya tidak hanya satu. Menurutnya, pasti ada kelompok-kelompok lain yang serupa, yang yimbul akibat pembelahan-pembelahan dalam masyarakat.
"Mungkin saja banyak, hal ini dapat terjadi karena terjadinya pembelahan-pembelahan dalam masyarakat akibat suatu pemilihan seperti Pemilukada, bahkan suporter sepak bola pun sangat mungkin saling menyerang melalui dunia maya," tambah Fickar.