REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief mengaku heran dengan sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam hal ini adalah Komisi III, kerap mempermasalahkan penyadapan yang dilakukan oleh pihaknya. Padahal, kata Laode, semua aparat hukum di Indonesia, baik itu Kepolisian, dan Jaksa memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan dalam bekerja.
"Saya kurang paham, kenapa penyadapan di KPK selalu dipermasalahkan. Padahal semua penegak hukum di Indonesia mempunyai kewenangan itu (penyadapan)," ujar Laode dengan heran, sesaat setelah RDPU dengan Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (12/9).
Padahal, lanjut Laode, selama ini KPK melakukan penyadapan sudah sesuai dengan undang-undang yang ada. Bahkan sudah diputuskan oleh Mahkamah konstitusi, bahwa tidak bertentangan dengan konstitusi.
Hanya saja, kata Laode, Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pemerintah membuat undang-undang khusus untuk mengatur tentang penyadapan.
"Ketika Judicial review itu mengatakan tidak menghilangkan kewenangan penyadapan. Justru menegaskan pada pemerintah dan DPR untuk membuat UU tentang penyadapan," tegas Laode.
Kemudian saat ditanya, apakah KPK tetap ingin memiliki kewenangan penyadapan? Laode menjawab dengan tegas, tidak ada di dunia ini satu pun aparat penegak hukum yang tidak dilengkapi dengan kewenangan untuk melakukan penyadapan.
Selain itu, Laode juga membantah bahwa ada pihak lain, selain KPK yang bisa mendengar hasil sadapan tersebut. Tidak hanya itu, KPK hanya melakukan penyadapan yang terkait dengan kasus-kasus saja.
"Yang bisa mendengarkan ya hanya penyidik di KPK dan saat sampaikan ke pengadilan. Di luar KPK tidak bisa mendengarkan itu," ujarnya.