Kamis 14 Sep 2017 18:31 WIB

Perppu Ormas Dinilai Sah karena Hal Ini

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bilal Ramadhan
 Suasana sidang lanjutan uji materi terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2107 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (14/9).
Foto: Republika/Prayogi
Suasana sidang lanjutan uji materi terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2107 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (14/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli dari pihak terkait Forum Advokat Pengawal Pancasila dan Sekretariat Advokat Nasional Indonesia dalam sidang uji materi Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas, Kores Tambunan menilai terbitnya Perppu Ormas sudah tepat sesuai Undang-undang karena negara sudah dalam keadaan genting.

Kores yang berprofesi advokat ini memaparkan dalam persidangan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa tolok ukur genting ini yaitu ada tiga hal: Darurat perang; sipil; internal. Menurut dia, ada kondisi darurat yang sifatnya internal sehingga ini didasarkan pada subyektifitas Presiden RI.

"Selanjutnya ini bisa menjadi alasan bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu," kata dia dalam sidang uji materi Perppu Ormas di kantor MK, Jakarta, Kamis (14/9).

Subyektifitas tersebut, lanjut Kores, memang mengikat pada jabatan Presiden berdasarkan aturan dalam pasal 22 Undang-undang Dasar 1945. Subyektifitas ini sendiri, kata dia, banyak digunakan oleh presiden terdahulu.

Sementara itu, ahli dari pihak pemohon uji materi Perppu Ormas, Abdul Chair, mengatakan Perppu Ormas tersebut mengandung rumusan yang tak sesuai dengan azas-azas atau doktrin hukum pidana. Rumusan-rumusan ini mengandung ketidakjelasan yang berdampak pada sifat multitafsir terhadap suatu larangan norma yang diatur. Termasuk sanksi hukumannya terhadap ormas atau anggota atau pengurus ormas itu sendiri.

Kemudian, Ahli Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana ini juga mengungkapkan bahwa hukum pidana melarang penerapan retroaktif. Namun, Perppu Ormas tersebut justru melanggarnya. Lantaran, Perppu Ormas baru berlaku pada 2017 ini. Sedangkan kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia yang dilakukan pada 2013 itu malah dihukum dengan pembubaran.

"Ini berarti berlaku mundur, berlaku surut, ini enggak boleh, nah ini konflik norma yang merugikan para pihak bukan hanya HTI tapi juga siapa saja yang dipandang secara subjektif cukup dengan adanya pernyataan pikiran yang secara subjektif paham ini adalah bertentangan dengan pancasilam kalau dibubarkan berarti ini meniadakan hak hidup Ormas," kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement