REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Profesor Suteki menilai bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2017 atau Perppu Ormas menjadikan Pemerintah sebagai institusi ekstraktif.
"Perppu Ormas telah mengubah Pemerintah menjadi satu-satunya pihak yang dapat menilai dan menentukan apakah suatu ormas telah melanggar atau tidak atas perppu a quo, ini salah satu karakter institusi ekstraktif," ujar Suteki di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin (2/10).
Suteki mengatakan hal itu ketika memberikan keterangan selaku ahli yang dihadirkan oleh Pihak Pemohon dalam sidang pengujian formil dan materiil Perppu Ormas. "Karakter institusi ekstraktif ini dapat bermuara pada potensi tindakan represif dan kesewenang-wenangan terhadap ormas yang dianggap sebagai lawan rezim pemerintah yang berkuasa," kata Suteki.
Menurut Suteki, Pemerintah menerbitkan Perppu Ormas yang mengusung asas "contrario actus" tanpa adanya asas legalitas (due process of law). Lebih lanjut Suteki menyebutkan bahwa penerapan asas "contrario actus" tanpa asas legalitas seharusnya tidak boleh dipakai untuk membatalkan pengesahan hak asasi seperti menikah dan berserikat.
"Ini hanya bisa digunakan untuk mencabut izin seperti SIM atau SIUP," kata Suteki.
Asas "contrario actus" yang diterapkan pada pengesahan hak akan berpotensi pada penilaian secara sepihak dan cenderung dilakukan penyalahgunaan wewenang, kata Suteki.