REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Margarito Kamis yakin gugatan terhadap ambang batas pengajuan calon presiden (presidential threshold) akan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, ada dua hal yang bisa membuat gugatan itu dikabulkan oleh MK.
"Pertama, kalau pakai presidential threshold (PT) 20 persen dan itu akarnya dari Pilpres yang lalu, soal hukum yang muncul adalah tidakkah sebagian pemilih pada Pemilu 2014 lalu itu sudah ada yang meninggal?," ujar Margarito kepada Republika.co.id, Jumat (6/10).
Margarito juga mengatakan, hak pilih itu bukanlah hak kebendaan. Hak pilih itu, kata dia, hak untuk memilih presiden atau pun anggota DPR-RI. Berbeda dengan hak kebendaan, hak pilih tidak bisa diwariskan.
"Jadi, kalau orang sudah meninggal ya selesai haknya itu. Tidak bisa hak itu dipakai oleh orang lain, siapa pun itu, setelah dia meninggal. Itu tidak bisa," jelasnya.
Maka dari itu, suara seseorang yang sudah diberikan pada 2014, itu hilang bersamaan dengan selesainya Pemilu itu. Apalagi kalau orang tersebut sudah meninggal dunia. "(Itu) konsekuensi dari hak pilih itu bukan hak kebendaan," lanjut Margarito.
Berikutnya, Margarito menjelaskan, Pemilu yang lalu, baik pemilihan legislatif atau presiden, dilaksanakan dalam satu tahun yang sama tetapi tidak berbarengan. Karena pemilihan legislatif lebih dulu, lanjut dia, kita bisa tahu angka-angka ambang batas itu.
"Kan kita tahu partai apa mendapat berapa. Sehingga, kita tahu memang angka-angka PT itu bisa kita ukur. Parliamentary treshold pun bisa diukur," kata dia.
Sementara, saat ini Pemilu dilakukan secara serentak. Begitu Pemilu legislatif dilakukan, pada saat itu juga calon presiden sudah dikampanyekan. Ia pun mempertanyakan angka PT yang didapatkan itu dari mana.
"Ini kan berjalan bersamaan, ini Anda dapat angka dari mana? Untuk menggunakannya sebagai basis partai itu mencalonkan presiden," ucapnya.