REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris menyatakan Iran bertanggung jawab atas serangan siber yang menimpa puluhan anggota parlemen. Serangan siber "brute force" yang belum pernah terjadi sebelumnya, terdeteksi pada Juni lalu dan berlangsung lebih dari 12 jam.
Awalnya diperkirakan Rusia berada di balik serangan tersebut. Namun menurut sumber dari Whitehall, dikutip The Daily Telegraph, pejabat intelijen Inggris telah menyimpulkan Iran yang bertanggung jawab. Ini merupakan serangan siber pertama yang cukup signifikan di Inggris.
Dalam serangan tersebut, peretas berulang kali menyatakan kata sandi dalam akun para anggota parlemen 'lemah'. Hal ini memaksa pihak berwenang parlemen untuk memblokir akses ke akun-akun itu, untuk meminimalkan kerusakan akibat kejadian tersebut.
Jaringan yang terkena dampak tidak hanya mempengaruhi akun email setiap anggota parlemen, tapi juga email milik Perdana Menteri Inggris Theresa May dan menteri-menteri kabinetnya. Secara total, ada 9.000 akun email yang terpengaruh.
Pada saat itu, para ahli memperingatkan, politisi Inggris dapat menjadi korban pemerasan atau menghadapi ancaman serangan teroris jika mengakses email mereka. Motif serangan siber tersebut tidak diketahui, namun para ahli mengatakan Garda Revolusi Iran dapat menggunakan cyberwarfare untuk menganggu kesepakatan nuklir.
Garda Revolusi diduga ingin Teheran tetap melanjutkan program senjata nuklir. Sementara Inggris berusaha mempertahankan kesepakatan nuklir Iran, setelah Presiden AS Donald Trump enggan mendukungnya.
Trump menuduh Teheran telah melanggar kesepakatan nuklir yang ditandatangani pada 2015. Ia percaya masyarakat internasional telah bersikap naif dalam berurusan dengan rezim tersebut.
May bergabung dengan Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mengeluarkan sebuah pernyataan mengenai kesepakatan nuklir Iran. Menurut mereka, kesepakatan tersebut sesuai dengan kepentingan keamanan nasional negara dan mereka meminta Washington untuk mempertimbangkan implikasinya, sebelum mengambil tindakan untuk melemahkannya.
Pernyataan dari Inggris, Prancis, dan Jerman mengatakan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) telah berulang kali menegaskan kepatuhan Iran terhadap persyaratan yang ditandatangani olehnya.
"Kami, para pemimpin Prancis, Jerman, dan Inggris mencatat keputusan Presiden Trump untuk tidak menegaskan kembali kepatuhan Iran terhadap Joint Comprehensive Plan of Action (JCPoA) ke Kongres dan prihatin dengan implikasi yang mungkin terjadi," ujar pernyataan itu.
"Kami berkomitmen terhadap JCPoA dan pelaksanaannya sepenuhnya oleh semua pihak. Melestarikan JCPoA adalah demi kepentingan keamanan nasional bersama," tambah mereka.
"Kesepakatan nuklir adalah puncak dari 13 tahun diplomasi dan merupakan langkah besar untuk memastikan program nuklir Iran tidak dialihkan untuk tujuan militer," kata pernyataan tersebut.