REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penghayat Sunda Wiwitan, Dewi Kanti Setianingsih merasa lega setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan persetujuan memasukkan penghayat kepercayaan ke dalam kartu tanda penduduk (KTP). Putusan MK pada Selasa (7/11) kemarin membuat Dewi dan para penghayat kepercayaan lainnya merasa telah dilindungi dan dianggap oleh negara yang ternyata sudah merdeka selama 72 tahun.
"Menurut kami ini sebuah langkah maju yang adil dan tegas dari negara dalam melaksanakan amanat konstitusi," ujar Dewi kepada Republika.co.id melalui sambungan telepon, Rabu (8/11).
Dia menceritakan, selama ini para penghayat kepercayaan sering kali mengalami kesulitan dalam mengurus adminsitasi seperti pembuatan akta kelahiran maupun buku nikah. Karena untuk mengurus dua hal tersebut, mereka dipaksa untuk memilih satu agama tertentu dari agama-agama yang telah diakui oleh negara. Bagi mereka yang enggan untuk memilih agama apapun, terpaksa tidak bisa memproses hal-hal itu.
"Perkawinan kami terhambat dicatatkan karena dianggap belum ada perundang-undangan yang menaungi kami, kemudian ketika perkawinan itu sudah dilaksanakan dan memiliki keturunan, anak tidak bisa mendapatkan akta kelahiran," ujarnya.
Beberapa bentuk diskriminasi itulah yang selama ini kerap dialami oleh para penghayat kepercayaan termasuk dirinya. Bahkan tidak sedikit juga anak-anak penghayat kepercayaan, menurut Dewi tumbuh dengan rasa tidak percaya diri di sekolah mereka.
Karena mereka sering kali dianggap berbeda oleh lingkungannya hanya karena agama orang tua mereka yang tidak bisa masuk di KTP. Oleh karena itu Dewi berharap dengan keputusan MK itu, dapat memberikan napas baru bagi para penghayat kepercayaan.
"Anak-anak kan harusnya dikuatkan psikologinya, ada kepercayaan diri dan merasa disetarakan juga dengan warga negara Indonesia sama seperti anak-anak lainnya," ujar Dewi.
Putusan MK ini, menurutnya bukan saja memberikan kehidupan baru tapi juga telah mengembalikan amanat konstitusi kepada jalurnya yang benar. Bukan atas pendapat penjabat negara semata yang lebih sering hanya berdasarkan subjektivitas semata.
"Selama ini kan amanat konstitusi ini sering diabaikan oleh pejabat negara atas dasar subjektifitas para pejabat itu sendiri. Sedangkan inilah fungsi MK mendudukkan kembali pada jalurnya," ujar Dewi.