REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai pergantian Ketua DPR harus dilakukan melalui Sidang Paripurna setelah status Setya Novanto menjadi terdakwa dalam kasus hukum. Fahri menegaskan mekanisme pergantian Ketua DPR RI tak bisa mengambil jalan pintas
"Pergantian Ketua DPR dilakukan di paripurna nanti misalnya sudah jadi terdakwa, dan status hukum tersebut diminta konfirmasi ke penegak hukum," kata Fahri di Gedung Nusantara III, Jakarta, Rabu (22/11).
Fahri menjelaskan status terdakwa itu diminta konfirmasi ke penegak hukum yang mengirimkan surat ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan selanjutnya MKD melakukan rapat untuk mengajukan usulan kepada paripurna.
Ia mengatakan usulan MKD kepada Rapat Paripurna DPR merupakan usulan bahwa yang bersangkutan telah berstatus terdakwa maka harus diberhentikan. "Mekanisme di paripurna tidak bisa kita ambil jalan pintas, ada prosedur yang harus dijalani," ujarnya.
Fahri mengatakan dalam UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) memang disebutkan apabila Ketua DPR jadi terdakwa maka MKD bisa melakukan rapat karena ada laporan dugaan pelanggan etika. Namun itu semua bisa dilakukan kalau yang bersangkutan sudah diperiksa. Kalau tidak bisa diperiksa maka tuduhan pelanggaran tersebut sulit dibuktikan.
"Di DPR, pimpinan kolektif dan kolegial karena secara administrasi urusan Ketua DPR dapat ditangani Wakil Ketua DPR tanpa pembentukan Pelaksana Tugas," katanya.
Dia mengatakan terkait MKD yang akan tetap memproses dugaan pelanggaran etik Novanto, MKD bersifat independen sehingga Pimpinan DPR hanya menembuskan surat pribadi Novanto yang meminta MKD tidak memproses perkaranya.
Menurutnya, perkara yang ditangani MKD bersifat independen sehingga apa yang dilakukan anggota DPR sehingga memengaruhi keputusan MKD bisa dikenakan pelanggaran etik.