Jumat 16 Feb 2018 19:36 WIB

'Pasal Penghinaan Presiden tidak Sesuai Konstitusi'

Pakar hukum mengingatkan bahwa MK telah membatalkan norma penghinaan presiden.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bayu Hermawan
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menjadi pembicara pada diskusi yang diprakarsai oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Minggu (30/7).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menjadi pembicara pada diskusi yang diprakarsai oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Minggu (30/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi pada 2006 melalui putusannya telah membatalkan norma penghinaan kepada Presiden dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tak hanya membatalkan, MK juga menurunkan gradasi pasal 207 KUHP soal penghinaan kepada pejabat publik sehingga menjadi delik aduan.

Abdul Fickar mengatakan, hal ini didasarkan pada asas persamaan di depan hukum yang juga diatur di dalam konstitusi, yaitu pasal 28 UU Dasar 1945. "Karena itu, jika DPR dan pemerintah memberlakukan secara khusus ketentuan penghinaan terhadap Presiden (di dalam KUHP yang baru), maka jelas akan bertentangan dengan konstitusi," katanya kepada Republika.co.id, Jumat (16/2).

Menurut Fickar, memuat pasal penghinaan terhadap Presiden ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) itu sama saja dengan menghidupkan pasal karet. Sebab, pasal tersebut bersifat multitafsir.

"Mengapa, karena pasal ini bisa multitafsir, selain menuntut murni yuridis, tapi juga bisa memukul lawan politik atas perbedaan pendapat apalagi dikaitkan dengan pasal 7 UU Dasar 1945 tentang mekanisme pemakzulan Presiden karena Presiden melakukan kejahatan berat termasuk korupsi," ujarnya.

Fickar menambahkan, tempat asal mula dibuatnya pasal penghinaan terhadap Presiden, yakni Belanda, pun telah dicabut karena dianggap sudah tidak cocok. Sehingga, Indonesia pun tidak tepat bila menggunakan pasal tersebut.

"Pada negara demokrasi seperti Indonesia norma pasal itu sudah tidak cocok, bahkan di negara asalnya pun norma pasal ini sudah dicabut," ujarnya.

Selain itu, menurut Fickar, pasal penghinaan Presiden dalam RKUHP hanya merangkum substansi pasal 134, 136, dan 137 KUHP yang ada saat ini, yaitu menempatkan raja atau ratu sebagai simbol negara. Padahal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu.

(Baca: Pasal Penghinaan Presiden Bisa Jadi Pemukul Lawan Politik)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.

(QS. Al-Ma'idah ayat 6)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement