REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi pada 2006 melalui putusannya telah membatalkan norma penghinaan kepada Presiden dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tak hanya membatalkan, MK juga menurunkan gradasi pasal 207 KUHP soal penghinaan kepada pejabat publik sehingga menjadi delik aduan.
Abdul Fickar mengatakan, hal ini didasarkan pada asas persamaan di depan hukum yang juga diatur di dalam konstitusi, yaitu pasal 28 UU Dasar 1945. "Karena itu, jika DPR dan pemerintah memberlakukan secara khusus ketentuan penghinaan terhadap Presiden (di dalam KUHP yang baru), maka jelas akan bertentangan dengan konstitusi," katanya kepada Republika.co.id, Jumat (16/2).
Menurut Fickar, memuat pasal penghinaan terhadap Presiden ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) itu sama saja dengan menghidupkan pasal karet. Sebab, pasal tersebut bersifat multitafsir.
"Mengapa, karena pasal ini bisa multitafsir, selain menuntut murni yuridis, tapi juga bisa memukul lawan politik atas perbedaan pendapat apalagi dikaitkan dengan pasal 7 UU Dasar 1945 tentang mekanisme pemakzulan Presiden karena Presiden melakukan kejahatan berat termasuk korupsi," ujarnya.
Fickar menambahkan, tempat asal mula dibuatnya pasal penghinaan terhadap Presiden, yakni Belanda, pun telah dicabut karena dianggap sudah tidak cocok. Sehingga, Indonesia pun tidak tepat bila menggunakan pasal tersebut.
"Pada negara demokrasi seperti Indonesia norma pasal itu sudah tidak cocok, bahkan di negara asalnya pun norma pasal ini sudah dicabut," ujarnya.
Selain itu, menurut Fickar, pasal penghinaan Presiden dalam RKUHP hanya merangkum substansi pasal 134, 136, dan 137 KUHP yang ada saat ini, yaitu menempatkan raja atau ratu sebagai simbol negara. Padahal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu.
(Baca: Pasal Penghinaan Presiden Bisa Jadi Pemukul Lawan Politik)